Selasa, 06 Maret 2012

Memoar Pendek Seorang Pemimpi :)


Melangkah Keluar dari Dunia Palsu

Sewaktu masih SMA sedikit pun saya tak pernah berpikir bahwa saya punya tanggung jawab penuh terhadap diri saya sendiri. Semua aspek kehidupan saya telah diatur dengan sangat rapi yang ironisnya bukan oleh saya sendiri. Di rumah, ada emak yang selalu siap sedia menunjukkan jalan yang benar kepada saya. Di sekolah, ada bapak/ibu guru yang mengarahkan saya harus ke kiri atau ke kanan, begini atau begitu dan lain sebagainya. Di rumah, emak akan marah jika saya keluar dari jalur yang telah beliau buat. Di sekolah, bapak/ibu guru akan memberikan hukuman jika saya tidak mengerjakan PR dan atau jika saya melanggar aturan sekolah. Sungguh, serupa diri saya ini adalah wayang yang bergeming dan hanya bergerak jika digerakkan dalang. Bedanya, saya bernyawa dan wayang tidak.
Dulu, saya belajar Karena saya masih sekolah, orang yang sekolah harusnya ya belajar, begitu kata bu guru di kelas. Begitu tamat sekolah, barulah saya sadar saya memang benar-benar wayang yang baru bergerak jika digerakkan dalang, bedanya saya bernapas sedang wayang tidak. Lantas siapa yang menghukum saya yang tidak belajar jika saya sudah tak lagi sekolah? Maka inilah perjalanan hidup saya setamat SMA, melangkah keluar dari dunia palsu.
(Ini adalah potongan memoar pendek saya bagian pertama, pernah saya ikutkan lomba dan Alhamdulillah saya diberi kelapangan oleh Tuhan sehubungan dengan tidak lolosnya tulisan ini dalam lomba tersebut :) )

 
1.       Bagian Pertama
Saya hampir gila, mau menangis tak ada air mata yang keluar, mau marah tak tahu harus marah pada siapa, mau diam saja otak saya hampir meledak. Tak pernah saya bayangkan sebelumnya jika menulis cerpen itu sulitnya keterlaluan.
Saya tulis ide-ide cerdas dari otak saya, saya tulis dan terus saya tulis. Selesai sekitar tiga paragraf saya berhenti, saya baca dari awal hingga akhir, paragraf ketiga saya hilangkan karena tak nyambung dengan cerita di atasnya. Saya baca ulang, saya hapus paragraf kedua karena bahasanya tak enak dibaca. Saya baca ulang untuk yang terakhir kalinya, saya hapus kalimat demi kalimat yang menurut saya tampak membosankan. Yang terakhir saya hapus adalah kalimat pertama dari paragraf pertama saya. Maka pemandangan yang saya lihat sekarang adalah dokumen kosong!
Ah, jika saja saya anak orang kaya yang kesulitan menghabiskan uang-karena saking banyaknya misalnya, maka tak ragu lagi bakal saya hantam layar komputer sialan itu dengan palu, saya pukul-pukul dengan keyboard, saya banting lantas saya injak-injak. Beruntung saya segera sadar bahwa saya ini anak janda miskin yang justru kesulitan mencari uang. Maka yang bisa saya lakukan hanyalah menghela napas panjang, berbela sungkawa pada embrio cerpen saya yang bahkan sudah mati sebelum dilahirkan, dan memandang naas pada layar kosong komputer yang sedetik lalu ingin saya hantam palu.
            Sungguh, untuk sekali saja saya ingin menjadi orang lain, lantas akan saya datangi diri saya itu. Sebagai orang lain itu, akan saya jambak-jambak rambut saya dan saya tololkan keputusan bodoh saya itu. Bodoh sekali!
Dua hari sebelumnya,
            Saya sudah kehabisan akal untuk mencari uang. Saya benar-benar sedang butuh uang. Tapi apa sih yang bisa dilakukan anak SMA yang bahkan Ijazahnya belum turun. Mau dapat kerja apa? Dapat uang dari mana?
Maka satu-satunya hal yang mungkin berhasil adalah mengikuti kompetisi menulis IsEF(Islamic Education Festival). Sama sekali tak saya perhatikan Tema, Syarat dan Ketentuan lomba, sebab pandangan saya fokuskan pada sub bab Hadiah, dan kembang-kempislah hidung saya melihat sejumlah uang yang ditawarkan. Tak menunggu lama saya kunjungi link menuju pendaftaran. Saya isi formulir pendaftaran itu dengan riang gembira.
Apa sih susahnya bikin cerpen? Saya membatin ceria.

Tiga hari berikutnya,
            Tak ‘kan ada asap jika tak ada api. Saya tak ‘kan sesinting ini jika tak membuat api diawal. Jika tempo dulu itu saya tak mendaftarkan diri saya sebagai peserta, mungkin hari-hari saya akan damai sejahtera. Duduk manis di depan komputer, ber-facebook -ria dengan teman maya, dan mendownload sebanyak-banyaknya foto artis tampan Korea. Bukannya mengetik-menghapus-mengetik-menghapus seperti sekarang ini. Mungkin Tuhan ingin memberi pelajaran pada saya yang sesumbar tempo dulu.
Rasakan itu bodoh! Sebagian diri saya berkoar.