Sabtu, 07 Januari 2012

Cerpen "Setan Telanjang Mencari Pakaian"

Cerpen pemenang pertama pada Lomba Penulisan Cerpen Unit Kegiatan Kerohanian Islam UNESA~ Desember 2011


Setan Telanjang Mencari Pakaian
Oleh: Siti Nur Banin
Benar-benar aku ingin menertawai mereka sampai terkencing-kencing. Tahulah aku sekarang jika setan itu tak hanya berrupa setan. Ada yang berseragam batik-batik, lakunya sopan, senyumnya ramah, rupanya setan. Ada yang setiap tahun gambarnya dicoblos rakyat saat pemilu, ternyata setan. Ada juga yang pakai sarung, lengkap dengan peci juga tasbih di tangan, eh, setan juga. Nah, yang di depanku inilah yang paling menggelikan, tadi siang barusan kudengar bibirnya berceloteh panjang lebar menyoal kegiatan TQQ. Katanya, dia masuk jilid IV, katanya lagi, jilid IV itu kumpulan anak-anak yang pandai mengaji, berilmu tinggi, juga berakhlak mulia. Berakhlak mulia? Oh, betapa ingin kucari arti kata tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Apa berakhlak mulia itu adalah yang bermalam-mingguan berdua di atas motor di depan gerbang UNESA? Menggelikan sekali. Inilah setan yang pinjam seragam. Seragamnya siapa? Ahli surga barang kali! Apa itu ahli surga? Haha, setan sepertiku mana tahu!
            Bukannya aku sok menilai, apa lagi sok suci. Ah, aku justru lebih setan dari yang setan. Aku juga bermalam-mingguan bersama pacar di depan gerbang UNESA, juga berangkul-rangkulan, juga bermesra-mesraan, juga bermanja-manjaan. Hanya saja aku tak pinjam seragam. Aku setan, maka baju setanlah yang kupakai. Kitab setanlah yang kubaca. Tabiat setan pula yang kuperlihatkan. Tak seperti mereka itu, bilangnya saja pandai mengaji, bilangnya saja TQQ jilid IV, akhlaknya mulia, lhah, berangkul-rangkulan seperti itu apa juga bagian dari akhlak mulia? Menggelikan sekali! Kalau setan, setan saja! Jangan pinjam seragam!

***
            Gerbang UNESA teramat ramai oleh setan. Panas juga lama-lama kalau bergerombol dengan setan-setan yang banyak. Maka kuajak setan di hadapanku, setan terindah sedunia, setan termenawan sejagat raya, setan pencuri hatiku, untuk lekas-lekas pergi menjauh.
            “Enaknya kemana Mi?”, tanyanya. Aku berpikir sejenak lantas dengan gembira kujawab,
            “Masjid BM 2, gimana?” Setanku tertegun sebentar, memandangi polah mata nakalku yang berbinar-binar, dan kemudian ia mengangguk. Ya, kami berdua juga tahu, masjid pastilah sepi setan, dan kami ingin jadi setan di tempat tak bersetan.
            Mula-mula kusuruh setanku memarkir motornya di bawah pohon sebelah utara masjid BM 2. Merunduk-runduk kami mendekati pagar. Setanku memanjat pagar. Bug, setanku sudah sampai di wilayah masjid. Giliranku memanjat pagar, hati-hati sekali aku melangkah, takut-takut kaki mulusku tergores. Biar setan aku juga harus tetap cantik! Bug, aku jatuh ditangkap pacar. Setan jatuh ditangkap setan. Romantisnya.
            Kami cekikikan berjalan merunduk-runduk. Krosak-krosak kemerosak memenuhi telingaku karena kaki kami menginjak dedaunan kering. Sial, ternyata salah satu penghuni masjid mendengar, ia menyorot senternya tepat ke arah kami. Tatapannya kaget namun dengan tegas menghardik,
            “Maaf, ini bukan tempat mesum! Silakan kalian cari tempat lain!” Tatapannya tajam tak kalah dari senternya yang masih menyoroti mata kami. Lagi, aku benar-benar ingin tertawa sampai terkencing-kencing melihat seragamnya. Memang ia tak bersorban, juga tak berpeci, tapi ia bersarung. Namun siapa juga yang tahu apa yang di balik sarungnya itu, bisa jadi setan! Maka, benci sekali aku melihat rupa-rupa seperti itu. Pria bersarung juga yang membuat ibuku menjanda. Pria bersarung ijin beristeri dua lantaran agamanya membolehkannya demikian. Ibuku pintar, mana mau dimadu macam begitu, biar saja, biar saja menjanda asal tak tersiksa. Maka, seperti juga ibuku, aku benci yang bersarung. Mula-mula berlaku sopan, mula-mula berkasih sayang, pada akhirnya isteri tua dibuang. Sungguh, muak benar aku dengan manusia berseragam serupa mantan suami ibuku, risi juga rasanya jika ingat darah dagingku pun sebagian darinya.
            “Masjid ini kamu yang bangun ta Mas?” setanku membalas sinis.
            “Masjid bukan tempat untuk bermesum Mas!” sergahnya tak kalah sinis.
            “Kalau kamu merasa surga lantas kami neraka, ya sudahlah, jangan mendekati neraka. Gitu saja kok repot!” sahutku ketus. Dia yang bersarung kelihatan muntab, namun segera menahan napas dan hendak pergi.
            “oh ya Mas…” panggilku sesaat setelah ia berbalik. Dia yang bersarung menoleh.
            “asal kau tahu, biar neraka aku juga punya surga” ucapku sambil menggandeng setanku mesra.
            “bahkan setiap hari aku melihat surga” lagi, aku menggandeng setanku mesra. Dia yang bersarung makin kelihatan muntab, namun segera pergi meninggalkan kami. Jadilah hanya setan yang mengada.
            Hujan deras mengguyur Surabaya, mengguyur setan-setan yang berserakan di sana-sini. Juga aku, juga setanku. Namun kami semakin senang, kami berduaan di teras masjid saling menghangatkan diri.
*** 
            Aku menangis tapi tak juga puas. Ingin menjerit takut dikira gila. Bersimpuhlah aku diteras masjid seorang diri. Suara gemuruh hujan menyatu dengan isakanku. Semakin lama seemakin pilu sendiri kudengar, semakin lama semakin ingin kuremas-remas jantungku, hingga remuk, hingga berdarah-darah, hingga mampus diriku. Ah, betapa aku tak menyangka. Sebodoh itukah aku hingga setan pun bisa ditipu setan.
            Semakin pilu dan malu juga aku karena dia yang bersarung sedari tadi melihatku. Sedari aku menampar pipi mantan setanku, sedari aku menghardik mantan setanku dan menyuruhnya enyah dari hadapanku, sedari aku tersungkur terisak mengaping di teras masjid. Sedari itulah dia yang bersarung mengawasiku. Betapa aku malu rasanya, telah kugembor-gemborkan padanya bahwa aku bersama surga setiap hari. Betapa sakit juga rasanya mengetahui surga yang kugembor-gemborkan itu ternyata hanya menganggapku seonggok daging segar yang bisa dinikmati kapan saja, bisa ditinggal kapan saja juga, pun bisa dijadikan bahan taruhan jika berhasil mencicipi dagingku. Betapapun setannya aku, betapapun jalangnya aku, jiwaku masih wanita. Wanita tak berhati baja, menangis darah pun rasanya tak juga cukup untukku malam ini.
            “ini ada sarung kau pasti kedinginan dengan pakaianmu itu. Jika memang agamamu di KTP islam silakan sholat di sebelah sana, mukena ada di almari itu.” Dia yang bersarung menghampiriku. Aku didera malu, tapi egoku enggan menunjukkan rasa maluku itu.
            “kau pasti senang melihatku begini, iya ‘kan?” tanyaku sinis, masih dalam terisak.
            “agamaku sama sekali tak mengajarkan hal demikian” ucapnya tegas.
            “huh, munafik. Lantas mengapa kitabmu membolehkan ayahku untuk menduakan ibuku? Tidakkah kitabmu sudah benar-benar merendahkan wanita? Tidakkah kitabmu mengerti bahwa wanita juga bisa sakit?”
            “Al-qur’an mengajarkan untuk menghormati wanita. Maka pelajarilah dulu Al-qur’an baru kau boleh berkomentar!” ucapnya untuk yang terakhir sebelum pergi meninggalkan aku sendirian.
***
            Aku masih agak risi mengenakan pakaian semacam ini. Ini memang hari pertamaku mengikuti TQQ, meski seharusnya ini adalah pertemuan ke-6. Sebagian diriku bahkan ingin menertawaiku sampai terkencing-kencing lantaran heran ada setan hendak belajar ngaji. Maka sebagian diriku yang lain berucap, sekarang aku telanjang. Kemarin aku setan karena baju setan yang kukenakan juga tabiat setan yang kulakoni. Aku melangkah malu-malu memasuki masjid, sambil berhharap-harap bakal kudapat pakaian yang pantas untuk kukenakan. Pakaian yang dapat meninggikan martabatku, hingga tak bakal lagi aku diserupakan seonggok daging segar. Dan di sinilah aku mengada, bertelanjang menanti pakaian baru.
***
            Awalnya aku melihatnya serupa melihat wanita jalang. Baju yang ia kenakan sama persis dengan wanita jalang. Tingkah polahnya juga tak berbeda dengan wanita jalang. Mula-mula kuusir si wanita jalang itu karena hendak berbuat mesum di masjid. Beberapa saat kemudian kulihat ia menapar lelaki yang sebelumnya ia gembor-gemborkan sebagai surga dunianya. Haha, benar-benar aku ingin menertawainya sampai terkencing-kencing. Tapi lama-lama kasihan juga aku padanya, maka kuhampiri ia dan kusuruh ia sembahyang. Dia semakin ketus, semakin menunjukkan kejalangannya. Marah sekali aku rasanya, maka kutinggal dia seorang diri.
            Awalnya aku memang memandangnya serupa wanita jalang, tapi pagi ini lain. Tak pantas sekali jika kusebut gadis berparas elok dan berjilbab  macam itu dengan sebutan jalang. Kemarin biar saja jadi kemarin, yang terpenting ‘kan hari ini.
Bagaimanapun, seorang lelaki muslim akan lebih menghormati dan memilih mantan wanita jalang ketimbang mantan wanita solikhah. Maka, di sinilah aku mengada, memandangi si mantan wanita jalang sambil mengucap doa semoga ia dapatkan pakaian yang pantas untuk ia kenakan. Pakaian yang dapat meninggikan martabatnya, hingga tak bakal ia diserupakan dengan seonggok daging segar.
TAMAT

1 komentar: