Oleh: Siti Nur Banin
Waktu itu abangku yang pertama masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah
(setara SD), sekitar tahun 1989. Sepatu sudah menjadi hal yang sedikit wajar
bagi anak sekolahan pada tahun itu. Teman-teman abangku pun sudah bersepatu
jika bersekolah. Tapi, sepatu tetaplah sesuatu yang hampir-hampir tak terjamah
di kepala orangtuaku. Jangankan perkara sepele tentang sepatu, perkara sakral
macam pendidikan saja menjadi begitu tidak dipikirkan oleh orangtuaku yang
memiliki hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan. Perut kami,
anak-anaknya. Maka dari itu, sangat tak mengherankan jika ibu akan lebih marah
jika abang tak mengantarkan dagangannya ke pasar ketimbang abang tak masuk
sekolah. Untungnya selalu ada pengecualian untuk segala hal, perut memang
penting, tapi melihat abangku yang polos dan lugunya kelewat meminta dibelikan
sepatu, ibu tak sampai hati menolak. Abangku adalah anak yang dilahirkan dengan
takdir seolah ia tak boleh punya keinginan untuk minta ini-itu, dan ia sudah
teramat biasa untuk tidak boleh ingin. Maka, jika abang sendiri sampai
mengungkapkan keinginannya untuk memiliki sepatu, tentunya itu adalah sejenis
keinginan yang tak tertahankan.
Entah dapat uang
dari mana ibu menyanggupi keinginan abang pertamaku. Betapa abangku itu tak
bisa berhenti tersenyum. Begitu polos. Begitu lugu. Begitu dan selalu seperti
itu, dirasanya seolah dialah anak paling berbahagia sedunia, segalaksi, sejagat
raya! Seolah, perkara ia hendak dibelikan sepatu itu tak lain tak bukan adalah
salah satu hal ajaib yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Hari yang ditunggu
tiba juga. Abang berangkat ke sekolah mengenakan sepatu. Sepatu baru lagi.
Lagi-lagi abangku itu tak bisa berhenti tersenyum. Lagi-lagi abangku itu merasa
jadi anak paling bahagia sepanjang masa di seluruh dunia. Maka, benar-benar
mengherankan karena saat pulang abangku itu tak lagi mengenakan sepatu.
Sepatunya itu dipegangi di tangan sepanjang dari sekolah. Ibu bertanya mengapa,
dijawabnya bahwa ia mungkin teramat biasa tak bersepatu, maka sepertinya lebih
enak tak pakai sepatu saja. Ditanya lagi oleh ibu, kenapa tak dipakai
sepatunya, dijawab pula, tidak papa. Begitu polos. Begitu lugu. Begitu dan
selalu seperti itu, belum pernah dilihat oleh ibu abangku itu menunjukkan
ekspresi marah, kecewa atau sedih.
Karena penasaran
ibu mencari tahu lewat teman-teman abangku. Tak mungkin sekali jika sesuatu
yang diidam-idamkan sejak lama oleh abang mendadak tak diinginkannya lagi.
Maka, betapa hati ibu teramat ngilu mendengar jawaban teman-teman abang yang
hampir-hampir tak terdengar akibat gelak tawa yang membuncah. Teman-teman
abangku bercerita sambil tak bisa berhenti memegangi perut menahan tawa, kata
mereka, abangku sekolah pakai sepatu perempuan. Abangku lucu sekali pakai
sepatu perempuan, kata mereka. Sudah sepatu perempuan, kebesaran pula, begitu
teman-teman abang bercerita, masih sambil memegangi perut. Jika menceritakannya
saja mereka sudah tertawa terbahak-bahak seperti itu, ibu tak sampai hati
membayangkan anaknya yang begitu polos, yang begitu menggemaskan
tersenyum-senyum sendiri memakai sepatu baru, lantas ditertawai teman-temannya
di sekolah.