Kamis, 18 Februari 2016

Hikayat Babi dan Manusia-Manusia Hina


Seandainya saya bisa menjelaskan betapa buruknya nasib saya, barangkali Sukindar tak bakal semurung itu. Bukankah manusia selalu bahagia mendapati nasib buruk menimpa tetangganya. Lebih-lebih jika tetangga itu lebih cakep mukanya. Maka, meskipun kesedihan saya lebih agung daripada kebesaran Gunung Kidul, sungguh saya turut prihatin atas keapesan nasib Sukindar, pujangga muda dari Gunung Kidul.

            “Katanya, saat dia membaca puisi saya di kolom Koran, dia mengkhayalkan muka saya sebelas tigabelas dengan Rangga.”

            Tentu, saya terkekeh hingga terkencing-kencing mendengar ucapannya barusan. Sungguh, kentutnya saja tak ada miripnya dengan Rangga. Pantas saja gebetannya itu justru kabur dan kawin dengan pemuda lain selepas prosesi, “ketemuan”.

            “Tuhan tak adil, bukan? Mengapa wajah jelek diciptakan sedang nikah begitu dianjurkan. Bukankah wajah jelek selalu menghalangi niat manusia untuk berpasangan? ”

             Oh Tuhan, bahkan saya tak pernah berharap semuluk itu. Saya tak mendamba menjalin rumah tangga bersama babi betina gendut yang semlohai. Saya tak menuntut Tuhan untuk menampankan wajah saya, memontokkan bokong saya, dan sebagainya. Saya hanya mengharapkan satu hal.

Tuhan, jadikanlah hamba halal bagi mereka!

            Bukannya sombong, seingat saya, seumur hidup saya tak pernah berbuat dosa. Melakukan maksiat, menentang perintah agama, atau durhaka kepada orang tua. Saya bukan babi yang homo, bukan babi pemakan tai, bukan juga babi yang gemar menghujat sesama babi. Semua saya lakukan dengan satu harapan. Dengan menjadi seperti itu, saya berharap menjadi babi yang halal, yang suci dan menyucikan keluarga saya.

            Saya makan makanan yang bersih, cebok sehabis buang air, dan sikat gigi setiap pagi dan sore. Saya yakin, daging saya bebas cacing atau kuman atau apapun yang membahayakan manusia. Nyatanya, saya tetap saja makhluk yang keharamannya sudah tak bisa diganggu gugat!

            Manusia ribut sesama manusia gara-gara saya. Makanan menjadi sampah jika nama saya disebut. Kerudung menjadi keset jika sebagian kecil tubuh saya terseret. Bahkan, bibir-bibir cantik akan bersorak ‘najis’, jika saya tak sengaja tertangkap mata mereka.
Duh Gusti, apa salah nenek moyang saya? Mbok ya saya mohon ampun, saya kepengen jadi yang halal… Kepengen sekali!

            “Bombom, bukankah Gus Dur pernah bilang bahwa isi kutang itu lebih penting dari kutangnya! Maka, itu artinya, bukankah hati lebih utama daripada fisik, bukan?”

            Subhanallah, benarkah demikian? Jika itu benar menurut Tuhan, saya yakin, saya suci di mata-Nya! Biarlah saya buruk di mata manusia. Bukankah, saya tak lebih najis dari koruptor?
 Juga, tak lebih hina dari penghujat?

            “Hei, apakah Kau penghuni baru di hutan ini?”

            “Siapa Kau? Kupikir aku satu-satunya manusia yang menghuni belantara ini. Mohon maaf jika ini daerah kekuasaanmu. Aku dibuang oleh masyarakat di desaku. Peramal bilang, jomblo buruk rupa sepertiku akan membawa nasib buruk desa jika terus dipelihara. Aku diasingkan di tempat ini!”

            Ya, Sukindar dan aku adalah dua makhluk malang yang tak diinginkan manusia. Kami berdua hidup dalam pengasingan sebab kami dipandang hina. Kini, kami tak lagi berdua. Sebab nyatanya, pemuda tampan di depan kami ini mengaku telah berada di sini cukup lama.

            “Perkenalkan nama saya Sayyid. Kebetulan sekali saya juga diasingkan di tempat ini. Saya diculik dan dibuang kemari. Katanya, ketampanan saya akan membawa keresahan di desa. Saya bakal menjadi sumber malapetaka bagi biduk rumah tangga orang. Saya dianggap hina karena terlalu tampan. Dan ya, setiap hari saya selalu memohon, kiranya saya dikaruniai wajah jelek saja!”


            Saya menangis tergugu. Sungguh, ternyata manusia selalu pandai menemukan kehinaan!

*Penggalan cerita ini diikutkan dalam agenda Nulis Bareng Alumni Kampus Fiksi

Senin, 08 Februari 2016

Kampus Fiksi Gitu Loh...


Laskar KF15
Well, barangkali saya yang terakhir ngepost curhatan ini. Tapi sumpah, sejak dalam perjalanan pulang, tangan udah gatel pengen ngetik-ngetik, apa daya ambeyen kumat L

Pertama-tama, marilah saya kenalkan diri saya. Nama saya, “Siti Nur Banin”. Mungkin se-indonesia hanya saya yang memiliki nama itu, sayang sekali waktu saya search di gugel, ternyata ada satu gadis Malaysia yang namanya sama persis!
Dan dia kelahiran 1993 sementara saya 1991, dan, saya tidak menggugatnya atas dasar kasus penjiplakan!

Kemudian daripada itu, nama panggilan saya adalah Banin, yang artinya, anak laki-laki. Jika penasaran mengapa nama saya begitu, cobalah tanya kepada bapak saya. FYI, bapak saya sudah meninggal, maka, jika ingin bertanya pada beliau, silakan menyusulnya terlebih dahulu (yang nganggep ini serius, berarti kurang piknik :D)

Pada tanggal 29 Januari 2016, seorang wanita mungil bernama panggilan Banin mengikuti sebuah kuliah singkat di Kampus Fiksi. Wanita tersebut ngotot mengikuti acara tersebut, meski lagi hamil muda, adalah karena dia percaya, di sana (di gedung kampus fiksi, di acara Kampus Fiksi 15) dia bisa makan dan nyamil gratis. Bagi dia yang jeblosan anak kos, reward makan dan nyamil dan tidur gratis merupakan hadiah yang maha dahsyat dan warbiyasah… Maka, persoalan hamil muda, bukanlah perkara pelik yang bisa menggugurkan hasratnya. Bukankah toh adek bayi juga butuh makan dan nyamil? Dia pasti juga bahagia tak terkira mendapati emaknya dapat sarapan gratis!
Alasan lain yang membuat Banin hadir dalam acara Kampus Fiksi adalah, karena dia berharap suatu hari dia bisa menjadi penulis yang namanya bisa bertebaran di seantero Indonesia. Mengapa?
Karena dia terlalu capek menjelaskan bahwa namanya bukan ‘Hani’, ‘Hanin’, ‘Anin’, ‘Benin’, ‘Bani’, dan lain sebagainya. Nama Banin terlalu asing di telinga orang Indonesia, sehingga, butuh sebuah perantara agar nama tersebut dapat dikenal tanpa terpleset dengan nama-nama lazim yang lain. Harapannya, jika Banin jadi penulis (Sukur-sukur terkenal), sekali berkenalan dengan orang,
‘kenalin, saya Banin. Siti Nur Banin.’
‘Owalah… ini Mbak Banin yang nulis Kambing Congek itu ya?’
Dan ya, Banin tak perlu lagi repot-repot mengeja namanya B-A-N-I-N, saat berkenalan.

Okay, kemudian, setelah Banin mengikuti Kampus Fiksi, apakah benar dia dapat makan gratis dan jadi penulis terkenal?
Sebagaimana dalam sambutan Om Edi selaku Bapak Rektor, beliau bilang, mengikuti acara KF tak menjamin muda-mudi menjadi Tere Liye, yang bisa dijadikan jaminan pasti adalah, alumnus akan mendapat keluarga baru.
Dan yes! Saya, Banin, belum terkenal tapi saya mendapat dedek-dedek dan akak-akak baru. Terima kasih sekali untuk kalian para peserta:
  1. Puput Mentari
Yang sampai saat ini mukenanya belum saya paketkan dan charger HP-nya saya rusakkan. Semoga dikau lekas mendapat ganti yang lebih baik. Bukankah kehilangan adalah proses penggantian dengan yang lebih baik??? #baper
  1. Mel Ara
Saya syok berat begitu mengetahui kalau Meilanny adalah Mel Ara. Secara kami berteman di FB sejak Januari 2014, dan dengan cara yang tidak sengaja, kami bertemu lagi di Januari 2 tahun ke depan. (ceritanya si akak ini menggilai ghost2 writer gitu,,, jadi dia menyembunyikan wajah dan namanya di FB)
  1. Ika Vihara BS
Pertama  kumelihatnya berdebar-debar di dada…
Hem… sumpah saya kira emak satu ini masih 18 tahun kaya si Emma… eh.. ternyata sama-sama emaknya kaya saya (usianya lho ya, kalau wajah sih, dia lebih imutan dikit---banyakan emma :D)
  1. Heppy Muslimah
Menjadi muslim memang harus bahagia. Tapi Heppy ini menghiperbolakan kebahagiaannya. Harusnya tak perlu heboh begitu, tapi, apa daya itu tak melanggar hukum. Lagipula, namanya cantik (Tapi, orangnya seperti preman! Cocok dijadikan tukang palak tukang bully dan tukang bubur naik bang Haji Rhomeo)