Rabu, 16 Desember 2020

Kamu Mengalami Kecemasan dan Kegelisahan yang Berlebih, ada Kemungkinan Kamu Mengidap Generalized Anxiety Disorder

 Berkenalan dengan GAD (Generalized Anxiety Disorder)



Pada sebuah rangkaian tes MCMI (Millon Clinical Multiaxial Inventory), saya terdiagnosa mengalami gangguan Bipolar dengan skor yang hampir di ambang maksimal (skor angkanya), tetapi psikolog yang menangani saya lebih tertarik untuk memberi terapi pada GAD yang juga saya alami--tetapi skornya berada sedikit di bawah skor Bipolar saya.

Mengapa demikian???

Ada kemungkinan, si GAD inilah yang menjadi pencetus atau memperburuk bibit Bipolar milik saya. Jika saya menjalani terapi untuk gangguan Bipolar tetapi masih belum selesai dengan si GAD, besar kemungkinan efek dari Bipolarnya juga susah dihindari. Lalu, makhluk seperti apa itu GAD?

Generalized Anxiety Disorder adalah sejenis gangguan kecemasan secara umum (kalau spesifik bisa dibilang phobia, GAD bersifat general, cemas pada berbagai hal tanpa batas). Pada dasarnya semua manusia memiliki rasa cemas, karena itu merupakan bentuk dasar dari sebuah kewaspadaan yang merupakan sistem pertahanan diri secara naluriah. Ketika seseorang merasa terancam, secara alami tubuh akan memberikan alarm berupa kewaspadaan yang meningkat atau rasa cemas yang meningkat, hal ini penting untuk membuat tubuh seseorang melangkah atau bertindak lebih hati-hati.

Contoh kecil misalnya, ketika seseorang berjalan di atas sebuah jembatan licin yang terbuat dari potongan pohon pisang, secara alami ia akan merasa sedikit merinding, was-was, dan cemas, perasaan-perasaan seperti itu dimunculkan oleh tubuh agar seseorang itu bisa melangkah dengan lebih hati-hati.


Contoh berikutnya, pada suatu hari si A sedang berada di dalam sebuah bus dan bersebelahan dengan seorang pria kekar bertato, berwajah garang, sekaligus berpakaian bak tampilan seorang preman. Mendapati keadaan tersebut, meski belum tentu pria itu berbahaya, tubuh si A akan menyalakan alarm kewaspadaan, tubuh dan pikirannya dibuat siaga untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi.


Pada orang-orang dengan gangguan GAD, kecemasan itu muncul di sembarang tempat, di sembarang suasana, di sembarang waktu, dan sekaligus dalam level yang kadang-kadang cukup ekstrem. Tanpa dipicu oleh keadaan-keadaan yang berbahaya, orang dengan GAD akan secara kontinyu mengalami rasa cemas dan gelisah karena hal sepele pun bisa menjadi cukup memusingkan bagi para pengidap GAD.

Orang dengan GAD itu adalah orang yang SANGAT PANDAI BERBURUK SANGKA (setidaknya ini yang sering menghantui pikiran saya sejak dulu).

Berburuk sangka di sini sangat berbeda sekali dengan sifat SUUDZON yang mungkin sudah kalian pelajari di Madrasah.

Contoh sederhananya mungkin begini,

Ada sebuah kejadian seorang Mahasiswa mengirim WA ke dosennya untuk mengajak ketemuan dalam rangka revisi Skripsi, hingga berjam-jam, WA si mahasiswa hanya bercentang biru tanpa ada balasan.

Mahasiswa tersebut bisa dibilang Suudzon jika: ia kemudian membatin dan mengatakan jika si dosen itu cukup sombong karena tidak bersedia membalas WA mahasiswanya.

Mahasiswa dengan gangguan GAD akan berburuk sangka seperti ini: apakah saya salah memilih kata-kata? Apakah saya sudah lancang mengganggu waktu beliau? Apakah saya sudah melakukan kesalahan besar? Apakah beliau sangat marah sehingga tidak bersedia memberi kepastian tentang jadwal revisi skripsi? Apakah kesalahan saya bisa dimaafkan? Apa yang harus saya lakukan? Saya telah membuat beliau marah pada saya. Bagaimana ini???!

Nah, bisa dibedakan kan??? Mana buruk sangka yang suudzon, dan mana buruk sangka yang dihasilkan dari GAD.

Uniknya, saya sendiri merasa bahwa saya adalah manusia yang cukup waras untuk bisa menganalisa mana bentuk kekhawatiran yang perlu dikhawatirkan dan mana kekhawatiran yang TIDAK PERLU dipedulikan. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku!!!

Saya sering memberi pengertian baik-baik kepada diri saya, tentang banyak hal, bahwa semuanya akan baik-baik saja, semuanya tidak perlu dikhawatirkan, kecemasan tidak akan membantu menyelesaikan segala hal, dan berbagai macam petuah-petuah bijak sudah saya sodorkan kepada otak dan pikiran saya.

But then, itu tidak membantu. Kami adalah orang-orang yang sepertinya memiliki otak dan pikiran yang tidak mau sejalan dengan instruksi yang kami berikan.

Ngaco ah!!! Kamu tuh cuma lebay aja! Baperan! Lembek!

Itu adalah racun yang tidak boleh kalian perdengarkan pada pengidap GAD. Kalian hanya tidak pernah mengalami sendiri bagaimana susah dan capeknya bertengkar dengan pikiran sendiri. Bertengkar dengan orang lain itu melelahkan, tetapi bertengkar dengan pikiran sendiri itu lebih membuat frustasi.

Ngomong-ngomong, biasanya apa sih yang dicemaskan oleh pengidap GAD?

Semua hal!!!

Kami bisa sangat cemas hanya karena melihat sebuah jembatan dilewati oleh banyak kendaraan. Cemas melihat kakek-kakek tua berjualan krupuk di jalan. Cemas ketika menyapa seseorang tidak dibalas. Cemas ketika diabaikan oleh penjual saat mengantre membeli sesuatu. Gelisah akan apakah dirinya sendiri cukup bisa diterima oleh orang lain, dan lain sebagainya.

Apa yang dibutuhkan oleh pengidap GAD?

Dukungan?

Tentu! Pengidap GAD gagal meyakinkan diri mereka untuk bersikap tenang dan rileks, jadi sugesti positif dan kepedulian orang terdekat sangat dibutuhkan untuk mengimbangi intimidasi isi pikiran mereka sendiri.

Terapi?

Ya. Terapi bisa menjadi alternatif yang cukup membantu. Terapi GAD biasanya berbentuk CBT (Cognitive Behavioral Teraphy), CBT ini muacam-macam modelnya yang pada intinya terapi ini mengajak para pengidap untuk mengubah atau melihat sudut pandang lain dari segala sesuatu yang menjadi masalah bagi pengidap. Pada GAD sendiri bisa diajak untuk terapi CBT dalam bentuk, belajar berpikir RASIONAL, karena GAD memang bentuk dari pikiran-pikiran ngawur yang tidak rasional (yang gagal dikendalikan).

Apa pemicu penyakit GAD ini??? Nah, kalau ini bisa sangat puanjang sekali penjelasannya. Tapi ada yang lebih penting lagi ketimbang mengorek-korek penyebab seseorang mengalami GAD, apakah itu?

Peluklah orang yang kalian sayangi dan beri mereka senyuman terhangat milik kalian...

Senin, 15 Juli 2019

Cerpen: Khoris yang Santun Hamil Nganggur Dua Kali tanpa Tahu Siapa Ayahnya



Oleh: Siti Nur Banin

Orang-orang dusun tak ada yang menduga, jika Khoris, gadis yang baru berusia 17 tahun itu, kini mengandung tanpa suami lagi. Sebagaimana pada peristiwa mengandung yang pertama, Khoris tak mau mengaku tentang siapa ayah, atau barangkali, ayah-ayah dari janinnya tersebut. Khoris bukan gadis kenes serupa Minah yang seminggu lalu mengadakan pemilu-pernikahan hamil dahulu. Khoris adalah santriwati santun yang sepanjang hidupnya tak punya kenalan laki-laki. Orang dusun sudah dibikin terheran-heran oleh kehamilannya yang pertama. Dan kini, agaknya orang dusun dibuatnya hampir sinting mendapati dirinya hamil nganggur lagi. Orang-orang mulai menduga, jangan-jangan ada kolor ijo berkeliaran di desa mereka. Di Televisi, sering mereka dapati ada manusia jadi-jadian yang mencari pesugihan dengan jalan menjadi kolor ijo, kemudian menggagahi para perempuan.


Semenjak kehamilannya yang kedua itu, bapak dan ibunya Khoris rutin saban bakda magrib menabur garam mengelilingi rumah. Garam itu mereka dapat dari Orang Pintar dengan harga satu ekor kambing. Kata si Orang Pintar, garam itu bisa menjadi pagar yang melindungi rumah mereka dari kolor ijo atau dedemit dan sebangsanya. Meski berbekal uang ngutang ke sana-sini, orangtua Khoris tak ambil pusing. Sebab, itu mereka lakukan demi melindungi anak mereka. Khoris memiliki adik perempuan berusia 13 tahun. Keselamatan dan kehormatan adik Khoris diyakini mereka bergantung pada garam sakti, yang barangkali oleh Orang Pintar itu dibeli di pasar dengan harga lima ratus perak.

Kamis, 18 Februari 2016

Hikayat Babi dan Manusia-Manusia Hina


Seandainya saya bisa menjelaskan betapa buruknya nasib saya, barangkali Sukindar tak bakal semurung itu. Bukankah manusia selalu bahagia mendapati nasib buruk menimpa tetangganya. Lebih-lebih jika tetangga itu lebih cakep mukanya. Maka, meskipun kesedihan saya lebih agung daripada kebesaran Gunung Kidul, sungguh saya turut prihatin atas keapesan nasib Sukindar, pujangga muda dari Gunung Kidul.

            “Katanya, saat dia membaca puisi saya di kolom Koran, dia mengkhayalkan muka saya sebelas tigabelas dengan Rangga.”

            Tentu, saya terkekeh hingga terkencing-kencing mendengar ucapannya barusan. Sungguh, kentutnya saja tak ada miripnya dengan Rangga. Pantas saja gebetannya itu justru kabur dan kawin dengan pemuda lain selepas prosesi, “ketemuan”.

            “Tuhan tak adil, bukan? Mengapa wajah jelek diciptakan sedang nikah begitu dianjurkan. Bukankah wajah jelek selalu menghalangi niat manusia untuk berpasangan? ”

             Oh Tuhan, bahkan saya tak pernah berharap semuluk itu. Saya tak mendamba menjalin rumah tangga bersama babi betina gendut yang semlohai. Saya tak menuntut Tuhan untuk menampankan wajah saya, memontokkan bokong saya, dan sebagainya. Saya hanya mengharapkan satu hal.

Tuhan, jadikanlah hamba halal bagi mereka!

            Bukannya sombong, seingat saya, seumur hidup saya tak pernah berbuat dosa. Melakukan maksiat, menentang perintah agama, atau durhaka kepada orang tua. Saya bukan babi yang homo, bukan babi pemakan tai, bukan juga babi yang gemar menghujat sesama babi. Semua saya lakukan dengan satu harapan. Dengan menjadi seperti itu, saya berharap menjadi babi yang halal, yang suci dan menyucikan keluarga saya.

            Saya makan makanan yang bersih, cebok sehabis buang air, dan sikat gigi setiap pagi dan sore. Saya yakin, daging saya bebas cacing atau kuman atau apapun yang membahayakan manusia. Nyatanya, saya tetap saja makhluk yang keharamannya sudah tak bisa diganggu gugat!

            Manusia ribut sesama manusia gara-gara saya. Makanan menjadi sampah jika nama saya disebut. Kerudung menjadi keset jika sebagian kecil tubuh saya terseret. Bahkan, bibir-bibir cantik akan bersorak ‘najis’, jika saya tak sengaja tertangkap mata mereka.
Duh Gusti, apa salah nenek moyang saya? Mbok ya saya mohon ampun, saya kepengen jadi yang halal… Kepengen sekali!

            “Bombom, bukankah Gus Dur pernah bilang bahwa isi kutang itu lebih penting dari kutangnya! Maka, itu artinya, bukankah hati lebih utama daripada fisik, bukan?”

            Subhanallah, benarkah demikian? Jika itu benar menurut Tuhan, saya yakin, saya suci di mata-Nya! Biarlah saya buruk di mata manusia. Bukankah, saya tak lebih najis dari koruptor?
 Juga, tak lebih hina dari penghujat?

            “Hei, apakah Kau penghuni baru di hutan ini?”

            “Siapa Kau? Kupikir aku satu-satunya manusia yang menghuni belantara ini. Mohon maaf jika ini daerah kekuasaanmu. Aku dibuang oleh masyarakat di desaku. Peramal bilang, jomblo buruk rupa sepertiku akan membawa nasib buruk desa jika terus dipelihara. Aku diasingkan di tempat ini!”

            Ya, Sukindar dan aku adalah dua makhluk malang yang tak diinginkan manusia. Kami berdua hidup dalam pengasingan sebab kami dipandang hina. Kini, kami tak lagi berdua. Sebab nyatanya, pemuda tampan di depan kami ini mengaku telah berada di sini cukup lama.

            “Perkenalkan nama saya Sayyid. Kebetulan sekali saya juga diasingkan di tempat ini. Saya diculik dan dibuang kemari. Katanya, ketampanan saya akan membawa keresahan di desa. Saya bakal menjadi sumber malapetaka bagi biduk rumah tangga orang. Saya dianggap hina karena terlalu tampan. Dan ya, setiap hari saya selalu memohon, kiranya saya dikaruniai wajah jelek saja!”


            Saya menangis tergugu. Sungguh, ternyata manusia selalu pandai menemukan kehinaan!

*Penggalan cerita ini diikutkan dalam agenda Nulis Bareng Alumni Kampus Fiksi

Senin, 08 Februari 2016

Kampus Fiksi Gitu Loh...


Laskar KF15
Well, barangkali saya yang terakhir ngepost curhatan ini. Tapi sumpah, sejak dalam perjalanan pulang, tangan udah gatel pengen ngetik-ngetik, apa daya ambeyen kumat L

Pertama-tama, marilah saya kenalkan diri saya. Nama saya, “Siti Nur Banin”. Mungkin se-indonesia hanya saya yang memiliki nama itu, sayang sekali waktu saya search di gugel, ternyata ada satu gadis Malaysia yang namanya sama persis!
Dan dia kelahiran 1993 sementara saya 1991, dan, saya tidak menggugatnya atas dasar kasus penjiplakan!

Kemudian daripada itu, nama panggilan saya adalah Banin, yang artinya, anak laki-laki. Jika penasaran mengapa nama saya begitu, cobalah tanya kepada bapak saya. FYI, bapak saya sudah meninggal, maka, jika ingin bertanya pada beliau, silakan menyusulnya terlebih dahulu (yang nganggep ini serius, berarti kurang piknik :D)

Pada tanggal 29 Januari 2016, seorang wanita mungil bernama panggilan Banin mengikuti sebuah kuliah singkat di Kampus Fiksi. Wanita tersebut ngotot mengikuti acara tersebut, meski lagi hamil muda, adalah karena dia percaya, di sana (di gedung kampus fiksi, di acara Kampus Fiksi 15) dia bisa makan dan nyamil gratis. Bagi dia yang jeblosan anak kos, reward makan dan nyamil dan tidur gratis merupakan hadiah yang maha dahsyat dan warbiyasah… Maka, persoalan hamil muda, bukanlah perkara pelik yang bisa menggugurkan hasratnya. Bukankah toh adek bayi juga butuh makan dan nyamil? Dia pasti juga bahagia tak terkira mendapati emaknya dapat sarapan gratis!
Alasan lain yang membuat Banin hadir dalam acara Kampus Fiksi adalah, karena dia berharap suatu hari dia bisa menjadi penulis yang namanya bisa bertebaran di seantero Indonesia. Mengapa?
Karena dia terlalu capek menjelaskan bahwa namanya bukan ‘Hani’, ‘Hanin’, ‘Anin’, ‘Benin’, ‘Bani’, dan lain sebagainya. Nama Banin terlalu asing di telinga orang Indonesia, sehingga, butuh sebuah perantara agar nama tersebut dapat dikenal tanpa terpleset dengan nama-nama lazim yang lain. Harapannya, jika Banin jadi penulis (Sukur-sukur terkenal), sekali berkenalan dengan orang,
‘kenalin, saya Banin. Siti Nur Banin.’
‘Owalah… ini Mbak Banin yang nulis Kambing Congek itu ya?’
Dan ya, Banin tak perlu lagi repot-repot mengeja namanya B-A-N-I-N, saat berkenalan.

Okay, kemudian, setelah Banin mengikuti Kampus Fiksi, apakah benar dia dapat makan gratis dan jadi penulis terkenal?
Sebagaimana dalam sambutan Om Edi selaku Bapak Rektor, beliau bilang, mengikuti acara KF tak menjamin muda-mudi menjadi Tere Liye, yang bisa dijadikan jaminan pasti adalah, alumnus akan mendapat keluarga baru.
Dan yes! Saya, Banin, belum terkenal tapi saya mendapat dedek-dedek dan akak-akak baru. Terima kasih sekali untuk kalian para peserta:
  1. Puput Mentari
Yang sampai saat ini mukenanya belum saya paketkan dan charger HP-nya saya rusakkan. Semoga dikau lekas mendapat ganti yang lebih baik. Bukankah kehilangan adalah proses penggantian dengan yang lebih baik??? #baper
  1. Mel Ara
Saya syok berat begitu mengetahui kalau Meilanny adalah Mel Ara. Secara kami berteman di FB sejak Januari 2014, dan dengan cara yang tidak sengaja, kami bertemu lagi di Januari 2 tahun ke depan. (ceritanya si akak ini menggilai ghost2 writer gitu,,, jadi dia menyembunyikan wajah dan namanya di FB)
  1. Ika Vihara BS
Pertama  kumelihatnya berdebar-debar di dada…
Hem… sumpah saya kira emak satu ini masih 18 tahun kaya si Emma… eh.. ternyata sama-sama emaknya kaya saya (usianya lho ya, kalau wajah sih, dia lebih imutan dikit---banyakan emma :D)
  1. Heppy Muslimah
Menjadi muslim memang harus bahagia. Tapi Heppy ini menghiperbolakan kebahagiaannya. Harusnya tak perlu heboh begitu, tapi, apa daya itu tak melanggar hukum. Lagipula, namanya cantik (Tapi, orangnya seperti preman! Cocok dijadikan tukang palak tukang bully dan tukang bubur naik bang Haji Rhomeo)