Senin, 15 Juli 2019

Cerpen: Khoris yang Santun Hamil Nganggur Dua Kali tanpa Tahu Siapa Ayahnya



Oleh: Siti Nur Banin

Orang-orang dusun tak ada yang menduga, jika Khoris, gadis yang baru berusia 17 tahun itu, kini mengandung tanpa suami lagi. Sebagaimana pada peristiwa mengandung yang pertama, Khoris tak mau mengaku tentang siapa ayah, atau barangkali, ayah-ayah dari janinnya tersebut. Khoris bukan gadis kenes serupa Minah yang seminggu lalu mengadakan pemilu-pernikahan hamil dahulu. Khoris adalah santriwati santun yang sepanjang hidupnya tak punya kenalan laki-laki. Orang dusun sudah dibikin terheran-heran oleh kehamilannya yang pertama. Dan kini, agaknya orang dusun dibuatnya hampir sinting mendapati dirinya hamil nganggur lagi. Orang-orang mulai menduga, jangan-jangan ada kolor ijo berkeliaran di desa mereka. Di Televisi, sering mereka dapati ada manusia jadi-jadian yang mencari pesugihan dengan jalan menjadi kolor ijo, kemudian menggagahi para perempuan.


Semenjak kehamilannya yang kedua itu, bapak dan ibunya Khoris rutin saban bakda magrib menabur garam mengelilingi rumah. Garam itu mereka dapat dari Orang Pintar dengan harga satu ekor kambing. Kata si Orang Pintar, garam itu bisa menjadi pagar yang melindungi rumah mereka dari kolor ijo atau dedemit dan sebangsanya. Meski berbekal uang ngutang ke sana-sini, orangtua Khoris tak ambil pusing. Sebab, itu mereka lakukan demi melindungi anak mereka. Khoris memiliki adik perempuan berusia 13 tahun. Keselamatan dan kehormatan adik Khoris diyakini mereka bergantung pada garam sakti, yang barangkali oleh Orang Pintar itu dibeli di pasar dengan harga lima ratus perak.



Jadilah suasana dusun mencekam. Usai magrib para orangtua mengurung anak gadis mereka di dalam kamar yang sebelumnya sudah ditaburi garam di pojok-pojok ruang. Adapun kamar tersebut sudah didekengi pula oleh garam sakti yang ditaburkan merata mengelilingi rumah. Tak hanya itu, warga dusun seolah serentak menurunkan Al-qur’an mereka dari dalam bupet. Al-qur’an yang telah sekian tahun bersemayam dalam bupet itu, kini dilap sampai debu-debu bandelnya luntur tak berbekas. Lantas dibacalah Al-qur’an itu saban bakda salat lima waktu.

            ***

Bagaimana saya mengungkapkan siapa bapak atau bapak-bapak dari anak saya, jika bibir saya masih bergincu. Wanita dikutuk dengan gincu, kalung, binggel, cincin. Dan gelang juga. Kami tak bisa merokok, sebab rokok merusak gincu. Mengumpat apalagi. Gincu akan meluber meleleh-leleh menjijikkan jika bibir wanita melontarkan umpatan, apalagi hingga berbusa-busa. Tak heran, wanita yang pandai mengumpat bakal dicap sebagai wanita menjijikkan.

            Kami, wanita, tak bisa mendongak congkak melawan penistaan. Sebab ada kalung berliontin tebal, berisi rupa-rupa manik-manik, yang menarik kepala kami untuk senantiasa menunduk. Kami, wanita, dipangkas hasratnya dengan kutukan cincin yang melingkar. Apa jadinya perempuan dengan cincin di jari manis, bergandengan berdua dengan pria lain? Oh, padahal pria bisa bercumbu kapan dan di mana saja, dengan mendapat penghargaan berupa pemakluman sebagai seorang ‘lelaki’.

            Maka, oh, jika bisa saya bernegoisasi dengan Tuhan, saya ingin menukar kelamin saya, tak peduli jika ditukarkan dengan kelamin binatang. Asal jangan yang betina.

            “Khoris, bapak sudah mendapat peringatan lagi dari kepala desa. Katanya, kediaman kamu ini ditakutkan bakal menjadi teror di kampung kita. Bagaimana ini?”

Saya diam. Sediam langit malam ini, yang tak berbulan tak berbintang. Kesesatan warga memang tak seharusnya diperpanjangkan. Ritual-ritual primitif sudah cukup bikin dukun itu kaya, bikin kami makin miskin. Miskin harta, miskin iman.

Hancur semua.

Oddang bilang, jika tak ada lagi yang bisa diselamatkan dari hidup, maka, mati yang akan menyelamatkan. Baiklah.

***

“Bapak, tolong sampaikan ke pak kepala desa, saya hendak melakukan jumpa pers akhir pekan ini. Tapi ada surat perjanjian yang harus ditandatangani beliau dan saya, bisakah?”

***

“Apa isi surat pernyataannya? Begitu pentingkah, Khoris, hingga harus ada materai enam ribu segala?” pak kades mengerutkan kening melihat saya serius menuliskan beberapa poin.

“Silakan Bapak baca, hanya sedikit. Dan bukan hal yang memberatkan semua pihak, kok.”

Poin yang pertama adalah, selama saya melakukan ‘sebuah pengakuan’, saya bersedia ditonton oleh ribuan warga, suara saya boleh disalurkan dengan pengeras suara, boleh direkam, boleh dibuat video untuk diunggah ke youtube, boleh tidak diapa-apakan. Dan boleh diabaikan sebagaimana koruptor yang dipelihara di Indonesia.

“Tapi, Saudara-saudara, Bapak-Ibu dan adik-adik yang berbahagia, saya mengharamkan kalian melakukan beberapa hal berikut.”

Suara saya menggema memenuhi kantor kepala desa. Beberapa pemuda dan pemudi sibuk merekam pidato pengakuan saya, beberapa lagi nekat berfoto dengan mengambil beckground, saya yang berpidato. Begitu saya menegaskan adanya keharaman terkait beberapa hal, kantor kepala desa berubah menjadi sarang lebah. Saya diam menunggu hadirin kelelahan mendengung, kemudian memilih bisu.

“Keharaman yang pertama, selama saya berbicara, entah itu poin pengakuan atau hal remeh-temeh yang tak berarti, tak ada yang boleh menginterupsi. Kedua, saya tidak menerima pertanyaan, apapun!  Ingat, apapun! Bahkan, jika kalian sudi menyogok saya dengan seekor atau dua ekor sapi demi sebuah jawaban, mohon maaf, saya tidak bersedia. Saya sudah menandatangani kontrak dengan pak kepala desa!”

Saya menarik napas. Mengatur perasaan, mengatur kemarahan dan kembali mengingat sebuah dongengan cerita rakyat.

“Yang terakhir, Saudara-saudara sekalian. Siapapun kalian, dilarang menganggap orangtua maupun seluruh keluarga saya sebagai artis. Kami tak mau diwawancarai lagi. Tentang apapun. Di manapun. Dan, kapanpun! Ini juga sudah tertera dalam surat perjanjian bermaterai enam ribu. Berstempel kepala desa.”

Kembali, dengungan lebah membuncah. Saya minum air mineral yang disediakan panitia berulang kali. Padahal saya tak haus, sama sekali.

“Baiklah, saya mulai pengakuan ini dengan sebuah dongeng Sangkuriang. Kalian pasti sudah tahu, Sangkuriang itu anak dari Dayang Sumbi. Lalu, tahukah kalian Dayang Sumbi itu anak siapa? Oh, jangan khawatir, ini bukan kuis yang wajib dijawab. Biar saya sendiri yang menjawab.”

“Jadi begini, dahulu kala, ada dewa dan dewi yang melakukan kesalahan. Mereka kemudian dikutuk dibuang ke bumi menjadi binatang untuk sebuah penebusan dosa. Si Dewi dikutuk menjadi celeng bernama Wayung Hyang. Suatu hari, Wayung Hyang yang kehausan di tengah hutan, mendapati ada air seni milik Raja Sungging Purbangkala yang tertadah dalam batok kelapa. Dia meminumnya.”

“Hm… Saudara-saudara sekalian. Awalnya saya rasa itu hal yang mustahil bahwa air kencing bisa membikin bayi. Namun, pada suatu waktu lalu, saat saya berjalan, saya dilanda kehausan, kemudian, seseorang memberi saya air. Katanya, air kencingnya. Dahaga saya akan sirna jika meminum air kencingnya. Tentu saja saya menolak. Saya takut hamil, saya bilang. Dia tertawa, kemudian saya ceritakan dongeng Dewi Wayung Hyang. Dia terkekeh. Saya menunduk menandaskan air kencing itu. Dan saya hamil.”

Kehebohan warga meledak!

“Ehm… tentunya kalian tak memiliki hak untuk bertanya siapa orang itu. Lagipula, saya menemuinya saat saya berjalan. Wajahnya rancu, membingungkan. Bicaranya juga rancu, sepertinya dia kelewat sering berbicara sampai berbusa-busa. Sungguh, saya kebingungan jika harus menceritakan, beruntung, saya tak berkewajiban bercerita.”

Saya tak peduli warga yang heboh. Saya lanjutkan lagi pengakuan saya.

“Ajaib sekali kan, saya hamil. Saya berjalan lagi, untuk menenangkan hati saya. Kemudian, orang berwajah rancu itu muncul lagi. Membawa secangkir air nira. Saya cium aromanya, ternyata air kencing. Dia memaksa saya untuk menamainya air nira dari khayangan. Saya bisa apa. Dia minta saya meminumnya, agar saya tak pernah lagi dilanda haus. Saya bilang, saya bukan haus kencing. Dia terkekeh. Maksud saya, saya tak haus air nira, saya bilang begitu, dia terbahak. Saya takut hamil lagi, dia menyeringai. Saya bisa apa. Saya minum lagi air kencing itu.”

***

Setelah sebuah pengakuan kehamilan nganggur dilakukan oleh Khoris, garam si dukun sakti tak laku dijual. Al-qur’an kembali berdebu di atas almari. Muda-mudi tak lagi takut kelayapan hingga dini hari. Dan, penjual obat sakit perut kebanjiran berkah sebab banyak isteri-isteri yang mual, sakit perutnya.

Mereka yang susah hamil, kemudian runtin meminum air kencing suami mereka.

                                                                                                 Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar