Oleh: Siti Nur Banin
Orang-orang dusun tak ada yang menduga,
jika Khoris, gadis yang baru berusia 17 tahun itu, kini mengandung tanpa suami
lagi. Sebagaimana pada peristiwa mengandung yang pertama, Khoris tak mau
mengaku tentang siapa ayah, atau barangkali, ayah-ayah dari janinnya tersebut.
Khoris bukan gadis kenes serupa Minah
yang seminggu lalu mengadakan pemilu-pernikahan
hamil dahulu. Khoris adalah santriwati santun yang sepanjang hidupnya tak punya
kenalan laki-laki. Orang dusun sudah dibikin terheran-heran oleh kehamilannya
yang pertama. Dan kini, agaknya orang dusun dibuatnya hampir sinting mendapati
dirinya hamil nganggur lagi.
Orang-orang mulai menduga, jangan-jangan ada kolor ijo berkeliaran di desa
mereka. Di Televisi, sering mereka dapati ada manusia jadi-jadian yang mencari
pesugihan dengan jalan menjadi kolor ijo, kemudian menggagahi para perempuan.
Semenjak kehamilannya yang kedua itu,
bapak dan ibunya Khoris rutin saban bakda magrib menabur garam mengelilingi
rumah. Garam itu mereka dapat dari Orang Pintar dengan harga satu ekor kambing.
Kata si Orang Pintar, garam itu bisa menjadi pagar yang melindungi rumah mereka
dari kolor ijo atau dedemit dan sebangsanya. Meski berbekal uang ngutang ke
sana-sini, orangtua Khoris tak ambil pusing. Sebab, itu mereka lakukan demi
melindungi anak mereka. Khoris memiliki adik perempuan berusia 13 tahun.
Keselamatan dan kehormatan adik Khoris diyakini mereka bergantung pada garam
sakti, yang barangkali oleh Orang Pintar itu dibeli di pasar dengan harga lima
ratus perak.
Jadilah suasana dusun mencekam. Usai
magrib para orangtua mengurung anak gadis mereka di dalam kamar yang sebelumnya
sudah ditaburi garam di pojok-pojok ruang. Adapun kamar tersebut sudah
didekengi pula oleh garam sakti yang ditaburkan merata mengelilingi rumah. Tak
hanya itu, warga dusun seolah serentak menurunkan Al-qur’an mereka dari dalam
bupet. Al-qur’an yang telah sekian tahun bersemayam dalam bupet itu, kini dilap
sampai debu-debu bandelnya luntur tak berbekas. Lantas dibacalah Al-qur’an itu
saban bakda salat lima waktu.
***
Bagaimana saya mengungkapkan siapa bapak
atau bapak-bapak dari anak saya, jika bibir saya masih bergincu. Wanita dikutuk
dengan gincu, kalung, binggel, cincin. Dan gelang juga. Kami tak bisa merokok,
sebab rokok merusak gincu. Mengumpat apalagi. Gincu akan meluber meleleh-leleh
menjijikkan jika bibir wanita melontarkan umpatan, apalagi hingga berbusa-busa.
Tak heran, wanita yang pandai mengumpat bakal dicap sebagai wanita menjijikkan.
Kami,
wanita, tak bisa mendongak congkak melawan penistaan. Sebab ada kalung
berliontin tebal, berisi rupa-rupa manik-manik, yang menarik kepala kami untuk
senantiasa menunduk. Kami, wanita, dipangkas hasratnya dengan kutukan cincin
yang melingkar. Apa jadinya perempuan dengan cincin di jari manis, bergandengan
berdua dengan pria lain? Oh, padahal pria bisa bercumbu kapan dan di mana saja,
dengan mendapat penghargaan berupa pemakluman sebagai seorang ‘lelaki’.
Maka,
oh, jika bisa saya bernegoisasi dengan Tuhan, saya ingin menukar kelamin saya,
tak peduli jika ditukarkan dengan kelamin binatang. Asal jangan yang betina.
“Khoris,
bapak sudah mendapat peringatan lagi dari kepala desa. Katanya, kediaman kamu
ini ditakutkan bakal menjadi teror di kampung kita. Bagaimana ini?”
Saya
diam. Sediam langit malam ini, yang tak berbulan tak berbintang. Kesesatan
warga memang tak seharusnya diperpanjangkan. Ritual-ritual primitif sudah cukup
bikin dukun itu kaya, bikin kami makin miskin. Miskin harta, miskin iman.
Hancur
semua.
Oddang
bilang, jika tak ada lagi yang bisa diselamatkan dari hidup, maka, mati yang
akan menyelamatkan. Baiklah.
***
“Bapak,
tolong sampaikan ke pak kepala desa, saya hendak melakukan jumpa pers akhir pekan
ini. Tapi ada surat perjanjian yang harus ditandatangani beliau dan saya,
bisakah?”
***
“Apa
isi surat pernyataannya? Begitu pentingkah, Khoris, hingga harus ada materai
enam ribu segala?” pak kades mengerutkan kening melihat saya serius menuliskan
beberapa poin.
“Silakan
Bapak baca, hanya sedikit. Dan bukan hal yang memberatkan semua pihak, kok.”
Poin
yang pertama adalah, selama saya melakukan ‘sebuah pengakuan’, saya bersedia
ditonton oleh ribuan warga, suara saya boleh disalurkan dengan pengeras suara,
boleh direkam, boleh dibuat video untuk diunggah ke youtube, boleh tidak diapa-apakan. Dan boleh diabaikan sebagaimana
koruptor yang dipelihara di Indonesia.
“Tapi,
Saudara-saudara, Bapak-Ibu dan adik-adik yang berbahagia, saya mengharamkan
kalian melakukan beberapa hal berikut.”
Suara
saya menggema memenuhi kantor kepala desa. Beberapa pemuda dan pemudi sibuk
merekam pidato pengakuan saya, beberapa lagi nekat berfoto dengan mengambil beckground, saya yang berpidato. Begitu
saya menegaskan adanya keharaman terkait beberapa hal, kantor kepala desa
berubah menjadi sarang lebah. Saya diam menunggu hadirin kelelahan mendengung,
kemudian memilih bisu.
“Keharaman
yang pertama, selama saya berbicara, entah itu poin pengakuan atau hal
remeh-temeh yang tak berarti, tak ada yang boleh menginterupsi. Kedua, saya
tidak menerima pertanyaan, apapun!
Ingat, apapun! Bahkan, jika kalian sudi menyogok saya dengan seekor atau
dua ekor sapi demi sebuah jawaban, mohon maaf, saya tidak bersedia. Saya sudah
menandatangani kontrak dengan pak kepala desa!”
Saya
menarik napas. Mengatur perasaan, mengatur kemarahan dan kembali mengingat
sebuah dongengan cerita rakyat.
“Yang
terakhir, Saudara-saudara sekalian. Siapapun kalian, dilarang menganggap
orangtua maupun seluruh keluarga saya sebagai artis. Kami tak mau diwawancarai
lagi. Tentang apapun. Di manapun. Dan, kapanpun! Ini juga sudah tertera dalam
surat perjanjian bermaterai enam ribu. Berstempel kepala desa.”
Kembali,
dengungan lebah membuncah. Saya minum air mineral yang disediakan panitia
berulang kali. Padahal saya tak haus, sama sekali.
“Baiklah,
saya mulai pengakuan ini dengan sebuah dongeng Sangkuriang. Kalian pasti sudah
tahu, Sangkuriang itu anak dari Dayang Sumbi. Lalu, tahukah kalian Dayang Sumbi
itu anak siapa? Oh, jangan khawatir, ini bukan kuis yang wajib dijawab. Biar
saya sendiri yang menjawab.”
“Jadi
begini, dahulu kala, ada dewa dan dewi yang melakukan kesalahan. Mereka
kemudian dikutuk dibuang ke bumi menjadi binatang untuk sebuah penebusan dosa.
Si Dewi dikutuk menjadi celeng bernama Wayung Hyang. Suatu hari, Wayung Hyang
yang kehausan di tengah hutan, mendapati ada air seni milik Raja Sungging
Purbangkala yang tertadah dalam batok kelapa. Dia meminumnya.”
“Hm…
Saudara-saudara sekalian. Awalnya saya rasa itu hal yang mustahil bahwa air
kencing bisa membikin bayi. Namun, pada suatu waktu lalu, saat saya berjalan,
saya dilanda kehausan, kemudian, seseorang memberi saya air. Katanya, air
kencingnya. Dahaga saya akan sirna jika meminum air kencingnya. Tentu saja saya
menolak. Saya takut hamil, saya bilang. Dia tertawa, kemudian saya ceritakan
dongeng Dewi Wayung Hyang. Dia terkekeh. Saya menunduk menandaskan air kencing
itu. Dan saya hamil.”
Kehebohan
warga meledak!
“Ehm…
tentunya kalian tak memiliki hak untuk bertanya siapa orang itu. Lagipula, saya
menemuinya saat saya berjalan. Wajahnya rancu, membingungkan. Bicaranya juga
rancu, sepertinya dia kelewat sering berbicara sampai berbusa-busa. Sungguh,
saya kebingungan jika harus menceritakan, beruntung, saya tak berkewajiban bercerita.”
Saya
tak peduli warga yang heboh. Saya lanjutkan lagi pengakuan saya.
“Ajaib
sekali kan, saya hamil. Saya berjalan lagi, untuk menenangkan hati saya.
Kemudian, orang berwajah rancu itu muncul lagi. Membawa secangkir air nira. Saya
cium aromanya, ternyata air kencing. Dia memaksa saya untuk menamainya air nira
dari khayangan. Saya bisa apa. Dia minta saya meminumnya, agar saya tak pernah
lagi dilanda haus. Saya bilang, saya bukan haus kencing. Dia terkekeh. Maksud
saya, saya tak haus air nira, saya bilang begitu, dia terbahak. Saya takut
hamil lagi, dia menyeringai. Saya bisa apa. Saya minum lagi air kencing itu.”
***
Setelah
sebuah pengakuan kehamilan nganggur dilakukan oleh Khoris, garam si dukun sakti
tak laku dijual. Al-qur’an kembali berdebu di atas almari. Muda-mudi tak lagi
takut kelayapan hingga dini hari. Dan, penjual obat sakit perut kebanjiran
berkah sebab banyak isteri-isteri yang mual, sakit perutnya.
Mereka
yang susah hamil, kemudian runtin meminum air kencing suami mereka.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar