Minggu, 08 April 2012

The Forgotten


cerpen ini butuh revisi, tapi saya bingung mau direvisi bagaimana......
Oleh: Siti Nur Banin
Hanya orang tidur yang bermimpi. Kupastikan aku tak sedang bermimpi sekarang. Gelap pekat ini nyata adanya, celah transparan yang bergoyang-goyang di sana itu, yang sedari tadi memunculkan suara manusia itu, tak sekedar khayalanku ternyata. Aku terbang! Melayang-layang dalam gelap yang pekat. Semula kukira ini adalah dasar air dan celah itu pastilah permukaannya, namun segera kutololkan diriku mengingat aku ini manusia normal yang tak punya kesaktian hidup di dalam air. Sedikit pun!
Kuraih celah itu, kucengkeram dan kujewer selebar tubuhku. Gagal! Terlalu sempit. Kujewer lagi, gagal lagi. Dan lagi, dan gagal lagi. Sebelum aku menyerah, sepasang jari-jari kisut, pucat, kering, dan berkuku hitam rusak membantuku menjewer celah.
hap… aku berhasil keluar.
            “selamat datang,” si tangan kisut menyapaku dengan tatapan yang teramat teduh. Ia tak sendiri, ada tiga remaja berada agak jauh dari kami. Dua gadis satu pria, dan semuanya ganjil.
            “boleh aku tahu ini di mana?” pertanyaanku kutujukan kepada si gadis bertangan kisut, namun mataku tak bergeser mengamati remaja-remaja ganjil yang juga tengah memandangiku dalam diam.
            “ah, klise!” si pria tersenyum sinis.

            “kau telah mati, tolol!” kami bertatap muka, aku dan si gadis jutek di seberang sana. Bagaimana ia bisa mendengar pertanyaanku, bagaimana aku bisa mendengar jawabannya, aku tak tahu.
            “apakah ini semacam Rumah Sakit Jiwa atau semacamnya?”
            “kau lupa bagaimana kau mati?” si tangan kisut menanyaiku iba.
            “Apa kalian dibayar ayah untuk ini?” aku geram.
            “jadi sama sekali kau tak mengingat kematianmu itu?” mual sekali aku ditanya begitu. Sekarang siapa yang lebih gila? Dia yang mengira aku tengah kehilangan kewarasanku, dia yang mengira isteri mudanya itu malaikat, meski kenyataanya iblis busuk, dan dia yang membayar empat remaja tolol ini untuk membuatku semakin sinting. Dia, ayahku, atau aku yang sinting? Ayahlah si sinting yang sebenarnya. Bukan aku!
            “Ikut aku!” si jutek mendekat, mencengkeram tanganku, menyeret kemudian menjerembabkanku di rerumput berembun. Aku disergap ganjil. Entah apa itu.
Sedetik, dua detik, tiga detik, semakin ganjil, dan sangat ganjil. Napasku sesak, aku risi, bukan karena tubuhku basah terkena embun, bukan karena mataku silau terkena sinar bulan.
            “lihat tubuhku!” kembali si jutek menyentakku.
Oh gosh! Tubuh si jutek transparan sebagian. Aku bisa melihat pohon randu besar  di seberang sana lewat bagian tubuhnya yang transparan, yang terkena sinar bulan. Guru fisikaku akan pingsan melihat ini. Ayahku pun tak bakal percaya jika kuberi tahu aku bisa melihat dua jangkrik sedang bercinta di balik kakiku. Seolah aku tak benar-benar menindih mereka.
            “sekarang Kau ingat kematianmu?” rasanya ingin kumuntahkan isi perutku mendengar pertanyaan sinting itu lagi.

            “ke sini, tidakkah kau merasa sesak terkena sinar bulan seperti itu?” aku mengangguk dan menurut begitu saja dipapah berjalan oleh si tangan kisut. Bukan! Bukan karena aku percaya bualan mereka. Lagi pula hidup mati bagiku tak ada bedanya. Jika benar aku memang sudah mati, bukankah Tuhan tengah mengabulkan permohonanku. Hal terakhir yang kuingat sebelum aku tersesat di sini yaitu aku duduk menggigil di ruang serba putih, berharap malaikat maut menjemputku segera. Sesegera mungkin sebelum lelaki sinting itu menemukanku. Aku ingin mati dibunuh malaikat maut, bukan mati ditangan lelaki sinting itu. Sesinting apapun dia, aku tak bisa untuk tidak mencintainya.
***
            Rambutnya panjang, lebat, hitam legam, dan kusut dengan poni yang sama panjangnya dengan rambut belakang. Kusebut itu poni karena diletakkan di muka, sedang mukanya sendiri aku tak tahu seperti apa bentuknya. Seluruh wajahnya terbenam rambut, hanya dagunya yang runcing sesekali terlihat saat rambutnya disapu angin. Jujur, aku lebih penasaran pada gadis itu ketimbang perkara aku ini sudah mati atau belum.
            “kenapa Kau hanya diam?” kutunjuk gadis itu meski aku paham betul ia tak bakal melihat ujung jariku dari balik rambut rimbunnya.
            “Ah, bukankah kita belum berkenalan? Aku Andra, ini Sella, Metha, dan Kiran, dan Kau?” sekarang aku tahu nama mereka semua, Andra si satu-satunya adam, Sella si tangan kisut bermata kuyu, Metha si jutek, dan Kiran si poni panjang.
            “aku? Novelis Caroline, panggil saja Line. Jadi kenapa Kiran diam saja?”
Semua menghela napas panjang, menatapku dan Kiran bergantian.
            “boleh kami bercerita Kiran?” Kiran mengangguk dalam diam.
            “kami ini manusia-manusia malang sedunia, ah, sejagat raya barang kali. Hidup sia-sia dan mati terlupa.” Aku mengeryitkan kening, tak benar-benar paham ucapan Sella.
            “Aku terlahir sebagai anak baik-baik, dari keluarga yang baik-baik juga. Di sekolah aku anak yang manis, di rumah pun demikian, sayang aku miskin. Aku ingin berduit tapi tak punya apapun untuk dijual. Tapi tentu saja aku masih punya tubuhku untuk kujual. Kujual tubuhku ke sana ke mari hingga aku kebanjiran duit. Lama-lama aku bosan dan kurasakan tubuhku mulai ringkih hingga akhirnya aku sadar aku terjangkit HIV. Aku ingin tobat tapi seseorang mengatakan aku telah sangat kotor, dan orang yang sangat kotor tak layak bertobat. Aku frustasi dan akhirnya aku hanya diam menunggu giliranku mati. Tak ada satu pun manusia yang mengingatku sekarang. Pelanggan-pelanggan yang dulu memujaku dan mendewakan tubuhku, tak sedetik pun dari mereka yang menangisi kepergianku atau mengingatku. Aku terlupakan, hiks…
Sella terisak, kemudian ia menunjuk Andra dan Andra mengangguk.
“Kiran hidup di jaman Jepang menduduki Indonesia, Jepang menjadikannya jugun ianfu karena Kiran adalah bunga desa. Siang malam Kiran dipaksa melayani kebinatangan tentara Jepang, menolak sama artinya bunuh diri, dan hamil adalah mala petaka, jika jugun ianfu ada yang hamil, tentara Jepang biadab itu yang akan menggugurkannya, secara paksa! Jika korban hidup, ratusan binatang bertubuh manusia menanti, jika korban mati satu gadis pribumi akan dapat giliran terkotori. Suatu ketika Kiran hamil dan susah-susah ia berhasil kabur, ia lari pontang panting dengan darah mengalir dari selangkangannya, ia keguguran. Rasa sakit mengeroyok seluruh bagian tubuhnya, juga batinnya, ia tak lagi berlari. Kiran terseok-seok menyeret langkahnya, berlumuran darah, bermandikan keringat, dan sama sekali ia tak ingin berhenti melangkah. Ia ingin memeluk bapak juga ibunya, ia juga ingin menemui Azam, pria yang meminangnya dua tahun silam, ia ingin memberi tahu Azam betapa ia mencintainya, sejak dulu.
Menjelang subuh Kiran sampai di kampung halamannya, bibirnya bergetar dan ia menitikkan air mata, rasa sakitnya sirna, ia pun ambruk dan sesenggukan menangis menyentuh tanah. Beribu syukur ia panjatkan.
Namun, beberapa warga yang melihatnya berlumuran darah jijik, mereka mengusir Kiran, Kiran menjelaskan ia adalah Kirani Ambarwati namun semua warga makin jijik, warga melempari Kiran dengan apa pun yang ada di dekat mereka,
“pergi kau gadis kotor,bekas Tentara Jepang,  gadis penyakitan, jangan kau bawa balak kemari, pergi!”
Salah satu dari para pelempar itu adalah lelaki bermata tajam dengan hidung mancung yang ia tahu namanya adalah Azam, ya Azam. Rasa sakit itu datang lagi, ia rasakan langkahnya semakin berat, ia menyeret tubuhnya menjauh dari amukan warga namun ia terlampau lelah, ia meringkuk bersimpuh dengan tanah pasrah menunggu kematian menyelamatkannya. Kiran mati. Tak ada yang mengingatnya, tak ada yang menangisinya”
Perutku mual, hatiku mencelos dan aku membisu. Semua juga membisu dan Kiran menunduk layu.
“Lalu bagaimana dengan kau sendiri Ndra, kau juga Metha?” aku berusaha membuka mulutku bicara, aku tak ingin Kiran larut dalam pilu.
Andra menggeleng dan Metha menatapku garang.
“Aku? Aku mati OD!” jawab Metha singkat. Kurasa aku tak perlu tahu lebih banyak tentangnya. Kentara sekali Metta adalah gadis liar, pecandu berat dan seluruh hidupnya semrawut akibat obat-obatan terlarang.
            “Kurasa kedua orangtuaku bersyukur aku mampus,” tambahnya lagi tanpa kutanya.
            “Apakah penting masalah orang lain mengingat atau melupakan kalian? Bukankah kalian di sini tak kesepian?” tanyaku penasaran dengan raut mereka yang selalu pias jika mengingat semua orang telah melupakan mereka. Jujur aku sendiri ragu apakah akan ada orang yang bakal mengingatku, sekalipun itu ayahku. Lagipula ayah mana yang bakal menangisi kepergian putri kurang ajar yang menuang air raksa ke wajah isteri mudanya yang cantik, yang manis, dan yang seperti malaikat. Meski nyatanya iblis busuk!
            “Kau tahu, hidup di sini sama dengan hidup di dunia. Kau akan lapar, kau juga akan haus. Tapi bukan lagi nasi makananmu, karena bukan perutmu yang lapar, tapi hatimu juga jiwamu. Bukan pula air yang kau minum,”  untuk pertama kalinya Metha berbicara lembut.
            “Kala ada orang yang mengenangmu, saat itulah laparmu terobati. Kala ada yang menangisimu saat itu pula dahagamu sirna. Dan tak ada satu pun yang mengenang kami, tak satu orang pun menangis untuk kami. Kami terlupa hiks…”, Metha terisak, Sella menangis semakin menjadi, Andra pun demikian. Kiran menunduk semakin dalam, semakin hening. Dan aku merasa tersayat. Betapa pilu nasib mereka, nasibku, nasib kami.
Tak lama setelahnya aku merasa tersayat-sayat, aku meronta-ronta tapi tak tahu bagian tubuhku yang mana yang sakit. Kulihat Sella, Metta, Kiran, dan Andra juga menggelinjang-gelinjang di atas tanah. Kami semua meronta, semua menjerit dengan jeritan yang ganjil, nyaring, pilu dan sangat seram. Kiran menjambak-jambak rambutnya dan saat itulah aku melihat wajahnya, buruk, buruk sekali. Dagunya pecos, mata kirinya mengelupas dan pipinya tak rata. Aku tak lagi memedulikan rupa Kiran, sakit aneh yang menderaku kian merajam-rajam, seluruh tubuhku ngilu juga perih. Seolah jutaan pisau tak kasat mata memutilasi seluruh bagian tubuh kami, kami meronta, menjerit dan memukul-mukul tubuh kami sendiri.
“seseorang tolong ingat aku!!!” Metha berteriak menjambak-jambak rambut cepaknya.
“menangislah untukku…”
Tangisku pecah, jeritanku menggema, aku hanyut dalam ketololan yang semakin sinting ini. Dalam sakit yang menyayat, hangat merayapi jiwaku. Hangat sekali rasanya, hangat yang tak pernah kurasakan dihari kemarin. Yah, setidaknya, untuk sekali saja dalam hidupku ini, aku punya teman.
Ah, tapi aku ini kan sudah mati…

*Jugun ianfu: gadis pribumi yang dijadikan budak seks pada masa penjajahan Jepang

5 komentar:

  1. Sudah bagus Mbak cerpennya. Menurutku sudah ada nilai yang akan disampaikan, alurnya juga menarik untuk diikuti, trus bisa mempengaruhi pembaca juga pesan yg disampaikan untuk mengingat orang mati. Kalau mau memperbaiki, mungkin ejaannya saja, seperti penggunaan huruf kapital di percakapan saja. Coba kirim ke media Mbak Banin..

    BalasHapus
  2. banin... you are the only one of my friends who is really lucky making me as your fan. :)
    so proud of you.

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha... I'm so lucky and happy for having a such cute and beautiful n nice n kind fan as you, dear^^

      Hapus
    2. hahahha i'm cute, i'm beautiful, i'm nice, i'm kind, hahahahha thank you :P (kepalaku mulai membesar)

      say, baru-baru ini aku bikin blog. hahahah km tau lah tulisanku (tak berbakat). but please comment or advice considering you are the master of writing for me for the better one (belajar nulis) . :)

      kebocoratcoret.blogspot.com

      kunjungi kalao lagi nganggur ya say.... hihihihihi maap ngerepotin (ulet ulet kuku)

      Hapus
  3. Mba Rizky makasi masukan n komentarnnya^^

    Bagi2 dong mba cerita-cerita di luar pulau sana...

    BalasHapus