Sabtu, 12 Mei 2012

Insiden Sepatu Baru


Oleh: Siti Nur Banin

Waktu itu abangku yang pertama masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (setara SD), sekitar tahun 1989. Sepatu sudah menjadi hal yang sedikit wajar bagi anak sekolahan pada tahun itu. Teman-teman abangku pun sudah bersepatu jika bersekolah. Tapi, sepatu tetaplah sesuatu yang hampir-hampir tak terjamah di kepala orangtuaku. Jangankan perkara sepele tentang sepatu, perkara sakral macam pendidikan saja menjadi begitu tidak dipikirkan oleh orangtuaku yang memiliki hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan. Perut kami, anak-anaknya. Maka dari itu, sangat tak mengherankan jika ibu akan lebih marah jika abang tak mengantarkan dagangannya ke pasar ketimbang abang tak masuk sekolah. Untungnya selalu ada pengecualian untuk segala hal, perut memang penting, tapi melihat abangku yang polos dan lugunya kelewat meminta dibelikan sepatu, ibu tak sampai hati menolak. Abangku adalah anak yang dilahirkan dengan takdir seolah ia tak boleh punya keinginan untuk minta ini-itu, dan ia sudah teramat biasa untuk tidak boleh ingin. Maka, jika abang sendiri sampai mengungkapkan keinginannya untuk memiliki sepatu, tentunya itu adalah sejenis keinginan yang tak tertahankan.
            Entah dapat uang dari mana ibu menyanggupi keinginan abang pertamaku. Betapa abangku itu tak bisa berhenti tersenyum. Begitu polos. Begitu lugu. Begitu dan selalu seperti itu, dirasanya seolah dialah anak paling berbahagia sedunia, segalaksi, sejagat raya! Seolah, perkara ia hendak dibelikan sepatu itu tak lain tak bukan adalah salah satu hal ajaib yang pernah terjadi dalam hidupnya.
            Hari yang ditunggu tiba juga. Abang berangkat ke sekolah mengenakan sepatu. Sepatu baru lagi. Lagi-lagi abangku itu tak bisa berhenti tersenyum. Lagi-lagi abangku itu merasa jadi anak paling bahagia sepanjang masa di seluruh dunia. Maka, benar-benar mengherankan karena saat pulang abangku itu tak lagi mengenakan sepatu. Sepatunya itu dipegangi di tangan sepanjang dari sekolah. Ibu bertanya mengapa, dijawabnya bahwa ia mungkin teramat biasa tak bersepatu, maka sepertinya lebih enak tak pakai sepatu saja. Ditanya lagi oleh ibu, kenapa tak dipakai sepatunya, dijawab pula, tidak papa. Begitu polos. Begitu lugu. Begitu dan selalu seperti itu, belum pernah dilihat oleh ibu abangku itu menunjukkan ekspresi marah, kecewa atau sedih.
            Karena penasaran ibu mencari tahu lewat teman-teman abangku. Tak mungkin sekali jika sesuatu yang diidam-idamkan sejak lama oleh abang mendadak tak diinginkannya lagi. Maka, betapa hati ibu teramat ngilu mendengar jawaban teman-teman abang yang hampir-hampir tak terdengar akibat gelak tawa yang membuncah. Teman-teman abangku bercerita sambil tak bisa berhenti memegangi perut menahan tawa, kata mereka, abangku sekolah pakai sepatu perempuan. Abangku lucu sekali pakai sepatu perempuan, kata mereka. Sudah sepatu perempuan, kebesaran pula, begitu teman-teman abang bercerita, masih sambil memegangi perut. Jika menceritakannya saja mereka sudah tertawa terbahak-bahak seperti itu, ibu tak sampai hati membayangkan anaknya yang begitu polos, yang begitu menggemaskan tersenyum-senyum sendiri memakai sepatu baru, lantas ditertawai teman-temannya di sekolah.

 
            Sudah kuceritakan dari awal jika perkara sepatu memang hampir-hampir tak terjamah di pikiran ibu. Benar-benar aku lebih tak tega lagi jika harus menyalahkan ibu yang tak bisa membedakan sepatu laki-laki dan perempuan.
            “Penjualnya cuma bilang ini bisa dipakai laki-laki sama perempuan.” Begitu cerita ibu padaku, hampir berkaca-kaca, sementara aku benar-benar merinding entah mengapa. Kalau saja aku yang menjadi abang saat itu, bisa-bisa aku tak mau bicara pada ibu berhari-hari, atau, aku mungkin tak mau sekolah lagi. Belakangan aku baru tahu mengapa abang tak berlaku serupa yang di anganku. Ternyata abangku itu memelihara sikap lapang. Bagi orang lapang, ditawari kebaikan adalah hal yang sejuta kali lebih membahagiakan ketimbang kebaikan itu sendiri. Sebab itulah aku ingin berlapang. Agar aku sendiri tak punya alasan untuk sedih.
***Naskah ini saya ikutkan lomba menulis "Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan"

12 komentar:

  1. Asin, pedes, gurih, segar,,,

    Tintamu lebih hitam dari yang saya kira.

    Semoga mendapatkan nilai yang terbaik, dan teruskan penamu...

    BalasHapus
  2. haha, kalau kurang garam aku duwe uyah buanyak hehe
    thx anyway....

    BalasHapus
  3. leg diss nin...



    http://blogmeen.blogspot.com/

    BalasHapus
  4. Nice artikel ..
    Lucu dan sangat mengharukan :)
    Kunjungi blog gw juga yaa http://hqzousangpejantantangguh.wordpress.com/2012/05/09/aku-dan-tanpa-sepatu/ di situ juga saya menulis untuk lomba menulis di noura books ..
    Saling berbagi cerita semoga bermanfaat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks... Oke, aku OTW ke blognya sampean :)

      Hapus
  5. bagusan lainnya yg pernah kubaca nin...punyamu mkcdq

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, next time lebih bagus lagi deh....
      makaci uwes mampir caay.....

      Hapus
  6. wah abangnya dari kecil sudah berjiwa besar,
    salut :)
    mampir kesini juga dong untuk memberi masukannya ao kritikannya :)
    http://100listofdreams.wordpress.com/2012/05/11/sepatuku-rem-sepedahku-penyelamat-hidupku-lomba-menulis-noura-books/

    BalasHapus
    Balasan
    1. soalnya beliau anak pertama dan punya adik2 kecil sebanyak empat, mungkin itu juga mempengaruhi hehe

      Aku sampai sebesar ini aja masih kagum ma abang pertamaku itu mas^^
      ~~okee, ini aku meluncur^^

      Hapus