Oleh: Siti Nur Banin
Namanya Kafa,
orang bilang Kafa itu tak waras. Sebagian lagi menganggap Kafa ditempeli setan
kepala. Seperti apa itu setan kepala, bahkan mereka yang menggunjing pun tak
tahu menahu. Alasan mereka mendebatkan Kafa adalah sikap janggalnya yang dibawa
sejak kecil. Kafa adalah remaja enam belas tahun yang bibirnya tak pernah
mengeluarkan bunyi yang memiliki arti. Bukan cacat fisik yang menyebabkan
bibirnya tak sanggup berkata-kata. Orang kampung lebih senang menggunjingkan
perkara ini sebagai akibat kelakuan Danarto-bapak si Kafa, yang tak pernah
mencontohkan bunyi-bunyian bahasa semenjak Kafa masih kecil. Namun, kejanggalan
yang dimaksud bukan karena ia tak mampu berkata-kata. Kafa mulai digunjingkan
tak waras semenjak ia gemar mengoleksi kepala. Di bilik kamarnya yang ciut ada
puluhan kepala berbagai binatang yang diletakkan di atas kasur dan bantalnya.
Jika tak sengaja di jalan ia menemukan kucing tertabrak mobil dan mati, maka
kepala kucing itu akan dipotong dan dibawa pulang. Jika Kafa sedang jalan-jalan
di pasar dan melewati tukang jagal ayam, maka dengan bunyi khasnya “haooohh....haoooh...haooohh....”
si tukang jagal lebih memilih memberikan beberapa kepala ayam pada Kafa
ketimbang harus mendengar bunyian ganjil yang keluar dari mulutnya.
Kafa memperlakukan
kepala-kepala itu layaknya mereka adalah bayi yang rapuh. Ia menggendong
mereka, menyelimuti mereka, dan tak jarang Kafa berbincang-bincang sendiri
dengan para kepala. “Haooh... haooooh... haoooh...” begitu terus dengan berbagai
mimik. Jika ada kepala yang mulai membusuk, lagi, Kafa akan mengucap “Haoooh”
dengan nada sedih, lantas mengubur kepala itu di halaman belakang rumah. Sempat
si Danarto melarang Kafa mengoleksi bangkai kepala, Kafa memang nurut tapi
bunyi “Haoooh”-nya tak mau berhenti sepanjang malam. Dengan geram akhirnya
Danarto membiarkan saja laku aneh anaknya itu.
Sebetapa anehnya
Kafa, tetap saja dia adalah anak yang hidupnya sangat memprihatinkan. Penyebab
atas memilukannya nasib Kafa adalah karena ia tinggal bersama Danarto, ayah
bertangan besi yang dapat dengan teganya kerap membenturkan kepala Kafa entah
pada tiang rumah entah pada aapun yang keras, kemudian kerap juga melempar
kepala Kafa dengan gembok, memukulkan piring, kemoceng, juga perkakas lain ke
kepala Kafa. Maka, jadilah kepala Kafa itu penuh dengan luka-luka, luka yang
satu belum sembuh, luka yang lain sudah bermunculan. Masih juga tentang luka di
kepala, sempat suatu ketika saat ibunya belum wafat, Kafa yang pelipisnya masih
merah nenganga akibat dilempar gembok seberan 3 ons hendak dibenturkan
kepalanya oleh Danarto, ibunya lekas-lekas mendorong suaminya hingga jatuh dan
adegan setelahnya adalah Danarto memukuli isterinya membabi buta.
“Dia itu anak
haram! Anak hasil selingkuhan! Harusnya kugorok saja dia sewaktu masih bayi!”
Danarto meneriaki isterinya sambil terus memukul, sedang si isteri berulang
kali mengucap “Dia anak kandungmu, Pak!” sambil merintih bersimpuh di pojokan
bilik. Waktu itu Kafa yang masih kecil sekali hanya diam mematung memandangi
kepala ibunya mengeluarkan cairan merah amis.
***
Sore itu Danarto
mengajak Kafa ikut bersamanya mengambil kayu jati hasil tebang liar yang dialirkan
teman Danarto di sungai di dalam hutan dekat dengan rumahnya. Danarto memang
benci setengah mati kepada Kafa, namun demikian ia tak rela membuang anak yang
menurutnya tak berharga itu. Meski tak berharga, setidaknya Kafa adalah objek
yang menyenangkan untuk dijadikan bulan-bulanan jika ia sedang emosi. Danarto
seperti merasakan kepuasan tersendiri setelah menghajar Kafa. Begitu sampai di
hutan hari sudah menjelang petang, berdua ayah beranak berjalan dalam
keremangan malam. Mereka berjalan perlahan menuruni tebing untuk sampai di
sungai tujuan, dalam keremangan dan kelicinan itulah Danarto tergelincir dan
hampir-hampir jatuh ke dasar tebing. Beruntung tangannya berpegang kuat pada
tepi tebing, ia meneriaki Kafa dan memintanya untuk memberi pertolongan. Kafa
yang melihat adegan itu tampak bingung bukan main. Ia gugup melihat ke sekitar,
dilihatnya sekitar, dilihatnya juga dirinya sendiri. Hanya ada gelap. Hanya ada
kapak di tangan.
***
Kafa menggemparkan
warga sekampung. Semua berteriak-teriak histeris melihat Kafa menggendong
Kepala Danarto yang tak berbadan. Kepala itu dilumuri darah, darah itu melumuri
baju, tangan, juga muka Kafa. Sedang yang lain berteriak-teriak histeris, Kafa
pun heboh dengan teriakan khasnya, “Haoooh... Haoooh!”
Warga desa tak
melaporkan tindakan Kafa kepada yang berwajib. Mereka diam-diam mencari
potongan tubuh Danarto di dasar tebing dan menguburkannya secara normal.
Bagaimanapun, niat Kafa adalah baik. Kafa, dalam sempitnya pemikirannya itu,
berpendapat bahwa daripada ia tak mampu menyelamatkan ayahnya seutuhnya, maka
lebih baik adanya jika masih ada yang selamat dari ayahnya itu, yaitu kepala.
Maka, dipotonglah kepala Danarto dengan kapak oleh Kafa.
***
Suatu senja
seorang pemuda dibuat kaget bukan main melihat seseorang bercakap-cakap dengan
kuburan.
“Dendam ibu sudah
kubalas. Aku sekarang merdeka.”
Pemuda itu tak hanya kaget, ia gemetar bukan main. Kalimat itu
nyatanya disuarakan oleh Kafa.
“Kafa! K.kkk.au.....”
Kafa menoleh. Ia gugup dan berlari meninggalkan pemuda itu yang
masih tak paham.
“Diam adalah cerminan seribu ekspresi, seribu perasaan. Maka
diamlah agar yang lain hanya bisa menebak”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar