2. Memoar Pendek Bagian Dua
Saya tidak lagi
tinggal di desa terpencil, saya tinggal di Surabaya sekarang. Lebih tepatnya
saya sedang berusaha membetahkan diri untuk tinggal di rumah paman saya, karena
paling tidak selama empat tahun kedepan di sinilah tempat saya. Kawan, saya
diterima di Universitas Negeri Surabaya lewat jalur Beasiswa Bidik Misi!
Sedikit mengejutkan memang, sebelumnya saya tak pernah mengira saya bisa
melanjutkan kuliah dikarenakan sebab yang juga sangat klise, saya miskin.
Sebelumnya saya dan emak sudah sepakat bahwa saya akan membantunya berjualan
marning di pasar. Hingga suatu hari pak Muhadi, guru bahasa Inggris saya,
memberitahukan bahwa Dikjen Dikti menawarkan beasiswa penuh untuk siswa miskin
berprestasi. Maka saat itu juga saya banting setir, saya tak lagi rajin ke
pasar, saya menjadi rajin menghadap layar komputer saat itu, mencari info
sebanyak-banyaknya seputar beasiswa Bidik Misi. Rasanya saya juga tak pernah
letih membaca artikel tentang beasiswa baru itu, pagi hari saya membacanya,
nanti sorenya saya baca lagi, menjelang tidur kembali saya membacanya lagi,
hingga tema dalam mimpi saya pun tak jauh-jauh dari beasiswa Bidik Misi. Saya
teramat bersemangat ingin kuliah, entah mengapa.
Maka, pada awal
bulan Maret 2010 saya sudah mulai mempersiapkan berkas-berkas yang hendak saya
kirim ke PTN yang saya tuju. Saya mulai sibuk memfoto kopi sertifikat, surat
pajak bumi bangunan, rekening listrik bulan terakhir, rapor dari smester
pertama, dan meminta surat keterangan tidak mampu kepada kepala desa.
Serangkaian hal yang sepele kelihatannya, namun lagi dan lagi seolah Tuhan
selalu ingin menguji kekompetenan saya. Hal-hal yang seharusnya sangat mudah
untuk dilakukan menjadi berkali lipat lebih berat. Seperti tempat-tempat foto
kopi yang sering tutup, Kartu Keluarga saya yang rancu(saya dijelaskan berjenis
kelamin laki-laki di sana), hingga menjelang pengiriman berkas yang serba
pelik. Hujan deras, kantor pos hampir tutup, pak pos yang sensitif dan uang
saya yang hampir habis, huft… Gangguan kecil namun jika datang bersamaan
tetaplah terasa berat. Namun bagaimanapun, sepelik apapun gangguan yang Tuhan
kirimkan, itu tak berarti apa-apa karena saya diganjar dengan seribu kali
lebihnya, saya lolos seleksi! Saya, seorang calon Mahasiswa!
***
Entah mungkin
karena rindu pada emak, atau mungkin saya gadis desa tulen yang sulit
menyesuaikan diri hidup di kota, saya sering menangis sendirian usai makan
sahur. Saat saya menangis sendirian di kamar, saya terbiasa membuka catatan
harian seorang teman maya saya yang sangat kreatif, Haris Firmansya namanya.
Jika saya sedang bersedih kemudian membaca cacatannya di facebook yang dinamai Cacatan Harisan(dengan bermacam-macam sub
bab), maka saya akan tertawa dan lupa kesedihan saya. Sama sekali tidak
berlebihan jika saya berjanji kepada diri saya sendiri, kelak, jika Haris sudah
menerbitkan buku, saya akan membelinya, semahal apapun buku itu. Dan sekitar 8
bulan setelahnya saya sudah memegang buku karangan Haris yang perdana dengan
judul Cacatan Harisan.
Bulan Agustus,
September, hingga November kegiatan saya masih sama. Kuliah, membetahkan diri
berada di kota, dan membaca catatan Haris di facebook. Membaca Cacatan Harisan bagi saya bukan lagi semata-mata
sebagai obat jika saya sedang bersedih melainkan juga sebagai media belajar
saya seputar model-model tulisan nonfiksi. Jika sebelumnya orang berasumsi
bahwa tulisan nonfiksi itu membosankan maka ini sangat berlawanan dengan apa
yang ditulis oleh Haris, secara sepihak saya angkat Haris menjadi guru menulis
kedua saya setelah Rilnia Metha Sofia. Terima kasih untuk Haris yang telah
mengajari saya meski dengan cara yang tak sengaja. Terima kasih juga berkat ilmu
yang saya dapat darimu di bulan Desember 2010 saya mendapatkan kebahagiaan yang
tak terduga.
Saya
masih suka belajar bahasa Inggris, tapi lebih tertarik pada belajar menulis.
Saya gemar mengikuti lomba-lomba menulis yang infonya membludak di internet.
Tak peduli seberapa sering saya kalah, saya tetap bersikeras mengikuti berbagai
event lomba. Seseorang mengatakan bahwa jika kita teramat sering mengalami
kekalahan, maka kekalahan berikutnya tidak akan berarti apa-apa. Pertama
kalinya saya mengikuti lomba kepenulisan adalah pertama kalinya saya menjadi
juara 3 tingkat nasional, namun kedua kalinya hingga kesekian kalinya saya
mengalami kekalahan. Jika bisa saya lukiskan kekecewaan saya ataupun kesedihan
saya dikala kalah, pastilah amat menyayat hati. Saat seseorang berharap menang
namun didera kekalahan orang tersebut biasanya berpandangan sempit pada dunia,
berburuk sangka pada apapun yang bisa dikambing hitamkan, dan enggan berjuang
kembali, itulah yang saya rasakan. Hingga suatu hari saya berucap pada diri
saya sendiri,
“buatlah
kegagalan sebanyak mungkin, hingga kau kebal, hingga kau rasa kegagalan itu
merupakan suatu kebiasa-biasa sajaan, hingga kegagalan berikutnya tak bakal
menyiutkan nyalimu, hingga habis sudah stok gagal yang ada dalam hidupmu, maka
tinggallah kesuksesan yang tersisa”
Saya bangkit dengan sejuta harapan
dan semangat yang meluap-luap. Saya bertekad bulat akan mengikuti lomba lagi,
untuk yang kesekian kalinya. Entah berhasil entah gagal saya belum mau peduli.
Kali ini lomba yang ingin saya ikuti adalah lomba menulis pengalaman pribadi
yang berkesan selama tahun 2010. Event ini diadakan oleh Yahoo! Indonesia, maka
tak mengherankan jika hadiah yang ditawarkan pun sangat menggiurkan, pemenang
pertama mendapatkan Apple iPad, sedang kala itu iPad masih barang langka di
Indonesia, sedang apa itu iPad saya pun masih belum tahu.
Saya masih belum mempunyai laptop,
maka saya hanya menggunakan buku tulis kosong untuk latihan menulis dan menulis
guna menyongsong lomba yang diadakan oleh Yahoo! Indonesia tersebut. Pagi-pagi
sekali setelah bangun tidur saya belajar menulis, di kampus jika ada jam kosong
saya gunakan untuk latihan menulis, pulang kuliah jika menganggur saya juga
akan menulis.
Buku
tulis yang tebalnya sekitar 32 halaman itu sekarang sudah usang sekali, usang
karena terkena tangan saya yang selalu berkeringat dan tampak sangat jelek
karena ditulisi oleh saya yang tulisannya kelewat artistik, namun lebih dari
pada itu semua, buku itu adalah buku bernilai tinggi. Buku itu adalah bukti konkrit
tentang metode belajar yang tak selalu dan melulu “menerima”/”mengonsumsi”,
belajar seharusnya juga “menciptakan” dan sekaligus membuktikan bahwa belajar
memang tak pernah ada selesainya. Meski saya sudah tidak menerima mata
pelajaran bahasa Indonesia maupun sastra di pendidikan formal saya yang
sekarang, proses belajar bagi saya tetap dan terus berlanjut.
***
Saat
itu tanggal 3 Desember 2010 pukul 02.00 WIB, dini hari. Saya terbangun karena
mendengar Guntur bergemuruh. Saya kaget sekali karena tak hanya ada suara
Guntur, melainkan suara hujan deras yang amat, suara kentongan bertalu-talu,
dan suara berisik tetangga sekitar. Saya semakin kaget melihat bibi saya
berlari ke lantai bawah. Saya mengikuti beliau dan bertanya, ada apa ini?
Bibi
menjelaskan bahwa mungkin saja akan terjadi banjir. Kapasitas hujan yang turun
teramat banyak. Saat kami tiba di lantai bawah, dapur dan ruang tamu sudah
tergenang air setinggi tungkai. Kami panik dan mulai memindahkan barang-barang
ke tempat yang lebih tinggi. Dua jam setelahnya air sudah setinggi lutut dan
air hujan beserta air got bercampur menjadi satu memenuhi rumah.
Sekarang
kami bekerja bertiga bersama paman saya. saya kebagian tugas mengangkat
barang-barang elektronik ke lantai atas. Kalau boleh saya mengeluh saya akan
sangat mengeluh sekali, saya lelah, sangat-sangat lelah. Paman dan bibi saya
berlipat kali lebih lelah dari saya pastinya, maka saya sama sekali tak pantas
untuk mengeluh dan kelelahan. Sementara itu, hari ini adalah deadline
pengiriman naskah ke Yahoo! Indonesia, saya benar-benar tak punya harapan!
Menjelang pukul 07.00 WIB air mulai surut,
pekerjaan baru menanti, kami membersihkan lumpur yang tertinggal di lantai,
mencuci perabot-perabot rumah yang terkena banjir, dan menjemur beberapa barang
ke luar. Semua membutuhkan tenanga ekstra, saya sampai tak berani membayangkan
untuk pergi kuliah. Bagaimana bisa saya meninggalkan paman dan bibi saya yang
sudah kelewat letih dengan tumpukan pekerjaan yang melelahkan sekaligus
menjijikkan ini? Akhirnya saya pun memutuskan untuk tidak masuk kuliah.
Pukul
11.30 WIB.
Saya
sangat ingin berangkat kuliah. Tak peduli saya sudah ketinggalan dua mata
kuliah, tak peduli jika saya berangkat berarti saya hanya akan mendapat satu
mata kuliah, tak peduli badan saya capek sekali, benar-benar saya tak peduli.
Saya hanya ingin berangkat kuliah. Maka, bergegaslah saya bersiap-siap dan
berangkat.
***
Di
jalan, saya tanyai diri saya sendiri, kenapa saya ingin pergi ke kampus? Saya
menjawab,
Di daerah ini ‘kan sudah terjadi
banjir, tak bakal ada rental yang buka. Setidaknya jika aku mau sedikit saja
berlelah-lelah pergi ke kampus aku akan dapat dua kesempatan sekaligus!
Kesempatan mengirim naskah lewat meminjam laptop teman dan kesempatan menerima
satu mata kuliah! Bukankah aku cinta kesempatan?
***
Kawan,
bukankah Tuhan pernah berfirman yang kurang lebih maksudnya adalah, “Allah maha tahu,sedang makhluknya tidak”,
maka perihal saya yang kelewat rajin menulis satu kisah di buku usang 32
halaman itu, adapun Tuhan telah merencanakan hal yang besar di sana. Pertama,
Tuhan tahu bahwa pada tanggal 1 Desember saya teledor meninggalkan flash disk
saya di rental komputer, yang menyebabkan flash disk saya hilang dan saya tidak
punya soft copy naskah yang hendak saya kirim ke Yahoo! Kedua, Tuhan tahu bahwa
saat saya dalam proses mengetik naskah di hari deadline, waktu saya sangat
terbatas karena saya pinjam laptop teman, maka paling tidak jika saya ingin menulis
dengan cepat saya wajib hafal di luar kepala isi naskah saya tersebut. Itulah
mengapa Kawan, dengan sangat rapinya Tuhan telah merencanakan sesuatu di balik
sesuatu. Yang sama sekali tak diketahui oleh mahkluknya, sekali pun dia yang
bersangkutan, seperti saya. Mana tahu saya, jika saya keranjingan menulis satu
naskah dengan lebih dari 3 revisi adalah agar saya hafal di luar kepala isinya.
Subhanallah…
***
Tanggal
3 Desember 2010, sekitar pukul empat sore. Saya meminjam laptop milik Laylatul
Fitria, teman sekelas saya, untuk mengetik sekaligus mengirimkan naskah. Lila,
begitu nama panggilannya, menunggui saya meski kampus sudah semakin sepi, Lila
juga berdoa untuk nasib naskah saya. Jika teringat lagi tentang kebaikan teman
yang baru saja saya kenal itu, rasanya seribu kali berterima kasih pun tak juga
bakal cukup.
***
Tanggal
14 Desember 2010, saya pulang kuliah
agak telat. Begitu sampai di rumah, sudah masuk waktu magrib, maka saya sholat
tanpa mandi dahulu. Selesai sholat saya iseng membuka e-mail, dan saya langsung
gemetar hebat begitu membaca satu e-mail yang memberitahukan bahwa saya menjadi pemenang pertama pada
kompetisi menulis yang diadakan oleh Yahoo! Indonesia. Karena tak yakin dengan
isi e-mail itu, saya langsung pergi ke warnet terdekat, juga tanpa mandi
dahulu.
Sampai
di warnet, saya masih gemetar. Menekan tombol on juga gemetar, memegang mouse apa lagi. Berkali-kali saya meng-klik ikon mozilla firefox namun selalu ikon Microsoft word yang saya klik.
Saya tak ubahnya maling kelas coro yang hendak mencuri keyboard. Setelah
berhasil membuka jendela internet, saya langsung membuka e-mail, dan betapa
mengagetkannya ternyata e-mail yang barusan saya buka di ponsel, masih sama
bunyinya. Saya gugup, khawatir dan senang, lantas saya menelpon kakak saya dan
memintanya untuk membuka e-mail saya. Yang saya khawatirkan, e-mail tersebut
adalah e-mail penipuan.
Dari
seberang, kakak saya mengucap syukur berkali-kali, tanda bahwa kakak saya tahu
bahwa e-mail tersebut benar adanya. Saya pun rasanya ingin bersyukur sepanjang
jalan pulang dari warnet. Malam itu hujan lebat dan angin bertiup kencang,
bolehlah orang lain menggigil kedinginan, namun hati saya bak api unggun hingga
sedingin apapun udara menusuk tulang, semuanya menter. Saya bahagia, maka saya
hangat.
Lagi,
pembelajaran yang saya lakukan mendatangkan manfaat. Terima kasih untuk Haris Firmansyah
yang sudah menulis Cacatan Harisan. Terima kasih untuk semua tulisan-tulisan
konyolnya yang menghibur dan memberi pelajaran kepada saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar