Kamis, 29 Agustus 2013

Aku Selalu Dibohongi


Aku benci pembohong. Dan kekasihku adalah seorang pembohong!



Aku memanggilnya, "Pus" atau "Ipus", panggilan sayangku pada kucing yang kemudian kujadikan panggilan untuk dia. Ipus adalah manusia yang tak pandai berbohong tapi gemar membohong.

Dia berbohong agar aku tak kecewa. Agar aku tak khawatir. Agar aku tak bersedih. Agar aku tak pergi.


Dia hampir selalu berbohong. kebohongan terbesarnya adalah saat dia mengaku akan operasi katarak di bulan maret 2013 lalu. Aku linglung. tapi setelah membaca beberapa kasus di internet seputar operasi katarak, aku merasa lega. kelegaanku lenyap seiring dengan berjalannya waktu beberapa keganjilan terjadi. Aku melahap berbagai informasi tentang penyakit mata dan kemudian pura-pura bingung kenapa keadaan Ipus tak kunjung membaik. Aku mendesaknya agar segera konsultasi pada dokter. Aku yakin ipus menyembunyikan sesuatu dariku.

Lelah dengan desakanku, dia menangis menyuruhku pergi. Menyuruhku mencari pria lain yang lebih daripada dia. Dia meyakinkanku bahwa dia tidak akan bunuh diri hanya karena aku pergi. Dia meyakinkan bahwa dia tidak akan kesepian karena dia masih punya keluarganya. Masih dalam sesenggukan dia mengakui satu hal. Dia, selain mengidap katarak, dia juga mengalami Ablasio Retina.


Aku yang sudah melahap info tentang gangguan mata, mendengar pengakuan itu, seperti, seperti ribuan jarum menusuk-nusuk ulu hati. Ingin menjerit. Ingin menangis. Ingin berada di sampingnya dan kita saling menangis bersama.

Aku memang benci pembohong. Tapi aku mencintai pembohong yang ini.
                                                                                    Untuk Ipus:
                                                             "Semoga Kamu Bahagia Selalu"

Rabu, 21 Agustus 2013

Catatan Ramadhan tahun lalu


Ganjaran yang Setimpal

                Yang berbuat yang menanggung akibat, itulah sunatullah-hukum alam. Nah, perihal nikmat yang saya beserta dua orang teman saya dapatkan malam itu, kiranya memang ganjaran yang oleh Tuhan Allah limpahkan sebagai imbalan atas ibadah kami yang tulus ikhlas. Tiga bungkus nasi goreng untuk makan sahur, subhanallah... Sungguh nikmat yang mewah. Asal Kau tahu saja, sebelum-sebelumnya, kami para mahasiswa penyandang kanker(kantong kering) ini, senantiasa makan sahur dengan nasi dan lauk dari 1 telur ditambah tepung 1 ons di campur dengan Sawi putih kemudian diberi garam yang banyak biar terasa. Kemudian dibagilah campuran tepung itu kepada 5 ekor mahasiswa kanker. Entah telur rasa tepung, entah tepung rasa telur, entah sawi rasa tepung, entah tepung rasa sawi garam. Kami tak pernah sekali pun mendebatkan soal rasa, yang penting, hemat beb...
                Nah, sekali lagi, malam itu, sungguh luar biasa. Kami mendapat 3 bungkus nasi goreng porsi jumbo dengan lauk ayam! Ayam betulan pula. Itu semua kami dapatkan lantaran kami telah mengikuti sholat Tarawih sekaligus tadarus Qur’an di Masjid Baitul Makmur 2, UNESA. Padahal sholat di masjid BM 2 itu lamanya bukan main, belum lagi tempatnya terpencil, belum lagi jamaahnya sedikit sekali. Maka, kamilah orang-orang terpilih yang bersedia meramaikan masjid. Maka, perihal 3 bungkus nasi goreng jumbo itu, yang lauknya ayam betulan itu, kiranya benar-benar setimpal dengan usaha kami berangkat dan pulang dari masjid(baca: melewati kuburan angker).
                Kami merasa terpanggil jiwanya untuk meramaikan masjid BM 2. Esok harinya, kami dengan keteguhan penuh berangkat ke masjid. Sholat tarawih 20 rokaat. Sholat witir 3 rokaat. Tadarus beberapa juz. Setelah itu diam. Menunggu. Menunggu lagi. Eh, kok sepi. Kok tidak seperti kemarin? Nah loh... ada apa ini? Mana nasi goreng jumbonya? Tuing...Tuing... Tidak ada Nasi goreng jumbo malam itu. Saya menelan ludah berulang kali sebelum akhirnya pulang dengan tangan hampa. Harapan kosong...
                Yang berbuat yang menanggung akibat. Maka, begitulah adanya. Ah, sungguh memalukan memang, jika harus jujur. Meski sudah ditutup rapat-rapat, disimpan dalam-dalam, toh ketahuan juga oleh Tuhan Allah bahwa kami tak ikhlas. Kami sedang mengharap nasi goreng jumbo. Maka begitulah adanya, Tuhan Allah menegur kami. Membuat kami diam dalam perjalanan pulang. Saling berdialog dengan dirinya sendiri. Kira-kira, sepertinya, begini dialognya,
‘Ampun dah, ntar ketemu sawi telur rasa tepung garam lagi, hadeeh...”