Ganjaran yang
Setimpal
Yang berbuat yang menanggung
akibat, itulah sunatullah-hukum alam. Nah, perihal nikmat yang saya beserta dua
orang teman saya dapatkan malam itu, kiranya memang ganjaran yang oleh Tuhan
Allah limpahkan sebagai imbalan atas ibadah kami yang tulus ikhlas. Tiga
bungkus nasi goreng untuk makan sahur, subhanallah... Sungguh nikmat yang
mewah. Asal Kau tahu saja, sebelum-sebelumnya, kami para mahasiswa penyandang
kanker(kantong kering) ini, senantiasa makan sahur dengan nasi dan lauk dari 1
telur ditambah tepung 1 ons di campur dengan Sawi putih kemudian diberi garam
yang banyak biar terasa. Kemudian dibagilah campuran tepung itu kepada 5 ekor
mahasiswa kanker. Entah telur rasa tepung, entah tepung rasa telur, entah sawi
rasa tepung, entah tepung rasa sawi garam. Kami tak pernah sekali pun
mendebatkan soal rasa, yang penting, hemat beb...
Nah, sekali lagi, malam itu,
sungguh luar biasa. Kami mendapat 3 bungkus nasi goreng porsi jumbo dengan lauk
ayam! Ayam betulan pula. Itu semua kami dapatkan lantaran kami telah mengikuti
sholat Tarawih sekaligus tadarus Qur’an di Masjid Baitul Makmur 2, UNESA. Padahal
sholat di masjid BM 2 itu lamanya bukan main, belum lagi tempatnya terpencil,
belum lagi jamaahnya sedikit sekali. Maka, kamilah orang-orang terpilih yang
bersedia meramaikan masjid. Maka, perihal 3 bungkus nasi goreng jumbo itu, yang
lauknya ayam betulan itu, kiranya benar-benar setimpal dengan usaha kami
berangkat dan pulang dari masjid(baca: melewati kuburan angker).
Kami merasa terpanggil jiwanya
untuk meramaikan masjid BM 2. Esok harinya, kami dengan keteguhan penuh
berangkat ke masjid. Sholat tarawih 20 rokaat. Sholat witir 3 rokaat. Tadarus
beberapa juz. Setelah itu diam. Menunggu. Menunggu lagi. Eh, kok sepi. Kok
tidak seperti kemarin? Nah loh... ada apa ini? Mana nasi goreng jumbonya?
Tuing...Tuing... Tidak ada Nasi goreng jumbo malam itu. Saya menelan ludah
berulang kali sebelum akhirnya pulang dengan tangan hampa. Harapan kosong...
Yang berbuat yang menanggung
akibat. Maka, begitulah adanya. Ah, sungguh memalukan memang, jika harus jujur.
Meski sudah ditutup rapat-rapat, disimpan dalam-dalam, toh ketahuan juga oleh
Tuhan Allah bahwa kami tak ikhlas. Kami sedang mengharap nasi goreng jumbo.
Maka begitulah adanya, Tuhan Allah menegur kami. Membuat kami diam dalam
perjalanan pulang. Saling berdialog dengan dirinya sendiri. Kira-kira,
sepertinya, begini dialognya,
‘Ampun dah, ntar
ketemu sawi telur rasa tepung garam lagi, hadeeh...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar