foto saya ini ndak ada hubungannya sama cerpen SGA yaa |
Sepotong Senja Untuk Pacarku (Karya Seno Gumira Ajidarma)
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap
senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet
batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat
menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni,
dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu
saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan
bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang
entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan
sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh,
karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu
banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah
apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya
dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa?
Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih
sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli
apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan
kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna.
Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti
artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan
sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong
senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada
dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir
tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang
manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan
senja itu untukmu.
Sore itu aku
duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu.
Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk
mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan
lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu
tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja
lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke
dalamnya.
Kemudian
tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku
berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena
kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu
selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan
barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana
kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil
bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja
itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku
meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong,
ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu
berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang
mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat
orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil
dan tancap gas.
“Catat
nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke
jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan
senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh
mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam
saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja
tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang
menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan
nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang
kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana.
Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru
hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu
sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya
masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa
dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima.
Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak
pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja!
Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol
mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku.
Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang
tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara.
Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di
kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam.
Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk
turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah
senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi
mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi
mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti.
Ini Polisi.
Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang
melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi
mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar
tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam
waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran
yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang
bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat,
lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil
terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu
mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada
dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil.
Mereka tak pernah bisa
mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin
dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih
utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai.
Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina,
polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka
telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku.
Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap
celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau
saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah
kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah
tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot,
sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah
kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,”
katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk
gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan
pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun
deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan
keraguanku.
“Masuklah, kamu
tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan
itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong
itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya.
Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk
melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan
membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong
yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah
mati entah hidup itu.
Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk
mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang
kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka
berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan
terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada
harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung
gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti
tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh
tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke
mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di
mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu
untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak
burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak
bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi,
meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke
tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja,
matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis.
Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu
memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya
keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina,
apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di
tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang
menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam
gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi
dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang
bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi
senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir
Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat
seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun
menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah
Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa,
pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu
pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi
berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku
mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas,
setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan
air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan
yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan
mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan
baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai.
Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai,
dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai.
Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan
penuh…
Alina
kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari
gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas
kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin
mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang
sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong
itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua
akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka
akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan
matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang
telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang
tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan
oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang
manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya
untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan
lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah
airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini
kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat,
dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen
Pililihan Kompas 1993
Cerpennya SGA emang bagus yaa. Absurd dan bikin kita tetap penasaran mengikuti sampai akhir.
BalasHapusIya Mba^^
BalasHapusSGA itu emang serba bisa juga... Pernah baca cerpennya yang "Cintaku Jauh di Komodo"? hehe.. unik...